Berjuang Bersama Gerindra dan Prabowo Subianto

Mengamalkan TRIDHARMA Kader Partai Gerindra : Berasal Dari Rakyat, Berjuang Untuk Rakyat, Berkorban Untuk Rakyat.

Heri Gunawan Seminar Nasional

Tantangan dan Peluang Bisnis bagi Generasi Milenial.

Jalan Santai

Jalan Santai yang diselenggarakan Rumah Aspirasi dan Inspirasi Heri Gunawan

Kunjungan Ketua Umum GERINDRA

Prabowo Subianto Melakukan Kunjungan ke Sukabumi

Bantuan Hand Traktor

Heri Gunawan Memfasilitasi Bantuan 30 Unit Traktor Untuk Gapoktan di Kabupaten Sukabumi Pada Tahun 2015

Komisi XI DPR RI Bersama Gubernur BI

Heri Gunawan, Sebagai Anggota Komisi XI DPR RI Yang Membidangi Keuangan dan Perbankan

Kunjungan Kerja BKSAP DPR RI Ke Australia

Heri Gunawan Sebagai Anggota BKSAP DPR RI saat berkunjung dan berdialog dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Australia

Tampilkan postingan dengan label Gula Impor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gula Impor. Tampilkan semua postingan

Hitung Ulang Neraca Gula Nasional

Jakarta (dpr.go.id) - Impor gula rafinasi yang tak terkendali hingga mencapai 2,2 juta ton pada tahun ini, telah menghancurkan hidup petani gula nasional. Bahkan, pemerintah merencanakan kuota impor gula rafinasi hingga 3,12 juta ton pada 2015.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan, Senin (7/9), mengkritisi kebijakan Kemeterian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang telah merencanakan kuota impor gula tersebut. Salah hitung atas kebutuhan impor gula rafinasi perlu ditelusuri. Data neraca gula tak kunjung beres, sehingga impor gula yang terlalu banyak sangat menguntungkan para mafia, bukan petani.

“Di Indonesia, gula adalah komoditas terpenting kedua setelah beras. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang mencapai seperempat miliar orang, maka berdasarkan data organisasi gula internasional (ISO), pertumbuhan gula Indonesia sebesar empat persen per tahun,” ungkap politisi Partai Gerindra tersebut.

Selama ini, sambung Heri, tak ada kesesuaian data menyangkut produksi dan konsumsi gula nasional. Heri mencontohkan, data dari Kemendag dan Kemenperin menyebutkan kebutuhan gula diperkirakan mencapai 5,7 juta ton. Data lain menyebutkan, kebutuhan gula rafinasi hanya 2,5 juta ton. Sementara produksi gula rafinasi dalam negeri sekitar 2,1 juta ton.  

Data Asosiasi Gula Indonesia (AGI) menunjukkan stok gula di dalam negeri mencapai 1,5 juta ton plus produksi 2,54 juta ton. Untuk konsumsi gula rumah tangga mencapai 2,89 juta ton. “Dari sini, kita bisa lihat dengan nyata dampak dari tidak beresnya data neraca gula nasional. Data yang tidak valid itu menjadi sebab tidak beresnya masalah gula nasional. Bagaimana mungkin kita bisa membuat peta jalan industri gula nasional kalau neraca gula saja tidak pernah beres,” tegas Heri.

Menurut Heri, kebijakan impor gula sangat bergantung pada produksi dan konsumsi gula nasional. Bila produksi gula defesit, impor dilakukan untuk menjaga stabilitas harga di dalam negeri. Persoalannya dengan data yang tidak pernah beres selama ini, kelebihan impor menjadi bias dan rawan penyimpangan.

“Kelebihan impor itu sangat mungkin menjadi permainan mafia. Jika mafia itu mendapat Rp2000 saja untuk setiap kg gula, maka mereka bisa untung triliunan rupiah. Mereka mendapat keuntungan di atas penderitaan petani gula yang merugi karena harga jatuh. Maka kami dari Komisi VI meminta Kemendag, Kemenperin, dan instansi terkait untuk menghitung ulang neraca gula nasional yang lebih valid. Perhitungan itu harus dilakukan dengan mengecek langsung produksi dan konsumsi gula di lapangan.” (mh)

Kebijakan Impor Gula yang Berlebihan Hanya Menguntungkan Mafia dan Merugikan Petani

Jakarta, Beritaempat – Rencana pemerintah terkait kuota impor gula rafinasi hingga 3,12 juta ton pada tahun ini, mendapat kritikan dari Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan. Menurutnya impor gula yang terlalu banyak tidak akan menguntungkan petani.
Heri menjelaskan, setelah beras, gula merupakan komoditas terpenting kedua di Indonesia. Ia bahkan menyebut pertumbuhan gula Indonesia itu sebesar empat persen per tahun.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang mencapai seperempat miliar orang, maka berdasarkan data organisasi gula internasional (ISO), pertumbuhan gula Indonesia sebesar empat persen per tahun,” kata Heri sebagaimana dikutip di website DPR, Senin (07/09).
Menurutnya, kebijakan pemerintah yang merencanakan kuota impor gula tersebut tidak tepat dan menguntungkan para mafia. Ia munuding pemerintah telah salah hitung atas kebutuhan impor gula rafinasi, sehingga data neraca gula tidak kunjung beres.
Lebih lanjut Heri mengungkapkan, bahwa selama ini tak ada kesesuaian data menyangkut produksi dan konsumsi gula nasional, semisal data dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian menyebut kebutuhan gula diperkerikan mencapai 5,7 juta ton. Padahal, jelasnya, kebutuhan gula rafinasi hanya sebesar 2,5 juta ton, sedangkan produksi gula rafinasi dalam negeri sekitar 2,1 juta ton.
Dari data Asosiasi Gula Indonesia (AGI), stok gula di dalam negeri mencapai 1,5 juta ton ditambah produksi 2,54 juta ton, dan konsumsi gula rumah tangga mencapai 2,89 juta ton. Dengan menggunakan data dari AGI, Heri kemudian bisa melihat, dampak dari tidak beresnya data neraca gula nasional.
“Data yang tidak valid itu menjadi sebab tidak beresnya masalah gula nasional. Bagaimana mungkin kita bisa membuat peta jalan industri gula nasional kalau neraca gula saja tidak pernah beres?” ujarnya mempertanyakan data yang dimiliki pemerintah.
Untuk itu, supaya kebijakan impor gula yang direncakan oleh pemerintah tidak menjadi permaian mafia, Komisi VI DPR akan meminta pemerintah dan instansi terkait untuk menghitung ulang neraca gula nasional yang lebih valid.
“Perhitungan itu harus dilakukan dengan mengecek langsung produksi dan konsumsi gula di lapangan,” tutup Heri. (red)

Komisi VI Minta Kemendag Dan Kemenperin Hitung Ulang Neraca Gula


Jakarta (ANTARA News) - Komisi VI DPR RI meminta Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian bersama instansi terkait untuk menghitung ulang neraca gula nasional.

Add caption
Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Heri Gunawan terkait kebijakan Kementerian Perdagangan yang telah membuka kran impor gula refinasi sebanyak 3,12 juta ton tahun 2015.

"Perhitungan itu harus dilakukan dengan mengecek langsung produksi dan konsumsi gula di lapangan. Jangan hanya hitung diatas meja dengan mendasarkannya pada proyeksi dan asumsi yang bisa bias," kata Heri dalam rilis yang diterima ANTARA News, Jakarta, Sabtu.

Selain itu, Kemendag dan Kemenperind juga harus aktif meningkatkan koordinasi dengan berbagai institusi lain, termasuk dengan asosiasi-asosiasi gula di Indonesia, dalam rangka re-kalkukasi neraca gula nasional. Termasuk juga koordinasi dengan BKPM dalam rangka menata ulang kebijakan investasi untuk penguatan industri gula nasional.

Katanya, Kementerian Perdagangan telah membuka keran impor gula refinasi sebanyak 672.000 ton untuk kuartal I-2015 dan 945.643 ton untuk kuartal II-2015, untuk kuartal III sebesar 600.000 ton. Total impor gula refinasi selama 2015 ini sudah mencapai 2,2 juta ton. Bahkan rencana kuota tahun 2015 sampai 3.12 juta ton.

"Masuknya gula refinasi sebesar 3.12 juta ton itu dipandang tidak pro petani. Masuknya gula refinasi yang peruntukkannya bagi industri makanan dan minuman itu akhirnya merembes ke pasar-pasar konsumsi dan merusak harga. Petani 'terbunuh'," kata Heri.

Dari data Asosiasi Gula Indonesia (AGI) menunjukkan bahwa stok gula dalam negeri mencapai 4 juta ton/tahun dengan rincian stok 1,5 juta ton + produksi 2,54 juta ton. Konsumsi gula rumah tangga mencapai 2,89 juta ton.

"Jika memakai data AGI, maka mestinya impor hanya 1,4-1,7 juta ton, bukan 3.12 juta ton. Jadi, ada kelebihan sekitar 1.42 juta ton gula rafinasi. Dan itu besar kemungkinan telah dan akan merembes ke pasar-pasar tradisonal yang merusak harga gula," katanya.

Lebih lanjut disampaikannya, kebijakan tersebut, membuktikan tidak beresnya data neraca gula nasional. Data yang tidak valid itu menjadi sebab tidak beresnya masalah gula nasional. "Bagaimana mungkin kita bisa membuat "peta jalan" industri gula nasional kalau neraca gula saja tidak pernah beres," ujarnya.

Kebijakan impor gula sangat bergantung pada dua hal, yakni produksi dan konsumsi gula nasional. Kalau produksi dalam negeri defisit, maka kebijakan impor perlu dilakukan untuk menjaga stok dan stabilitas harga dalam negeri. Dengan basis data yang tidak beres, kebijakan impor bisa menjadi bias dan rawan penyimpangan.

"Kelebihan impor itu sangat mungkin bisa jadi permainan mafia. Jika mafia-mafia itu mendapat Rp2000 setiap kilogram gula, maka mereka bisa bisa untung triliun-an rupiah. Ya, para mafia itu mendapat untung triliunan di atas penderitaan petani gula yang merugi karena harga jatuh," kata anggota DPR RI dari Kabupaten dan kota Sukabumi itu.

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang mencapai seperempat miliar orang, maka---berdasarkan data Organisasi Gula Internasional (ISO)---pertumbuhan kebutuhan gula Indonesia sebesar 4 persen per tahun.

"Namun, hingga saat ini, tata kelola gula nasional tetap saja semrawut. Yang paling miris, itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Data neraca gula saja tidak beres-beres. Tidak pernah ada kesamaan/kesesuaian data yang akurat dan pasti terkait produksi dan konsumsi gula nasional.

Data Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, kebutuhan gula diperkirakan mencapai 5,7 juta ton dengan rincian: 2,8 juta ton gula kristal putih konsumsi masyarakat + 2,9 juta ton gula refinasi untuk kebutuhan industri makanan dan minuman. "Data lain menyatakan kebutuhan gula refinasi sebetulnya hanya 2,5 juta ton, sedangkan produksi gula refinasi dalam negeri sekitar 2,1 juta ton," demikian Heri.

Komisi VI Sayangkan Pemerintah Malah Impor Gula


Jakarta (ANTARA News) -  Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan menyayangkan langkah Kementerian Perdagangan mengimpor saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut tata niaga gula.

"Di saat KPK sedang mengusut tata niaga gula yang amburadul, Kementerian Perdagangan justru kembali menerbitkan izin impor gula. Total impor menjadi sebesar 2,21 juta ton. Tentu ini sangat disayangkan,” kata Heri di Jakarta, Selasa.

KPK mulai mencium dugaan korupsi impor gula sehingga memanggil Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil dan Menteri Perindustrian Saleh Husin serta Irjen Kementerian Perdagangan Karyanto guna memaparkan hasil temuan itu.

“Sebelumnya, Presiden Jokowi pernah mengakui sedang dikepung oleh para mafia gula. Mafia-mafia itu tidak henti-hentinya menghisap untung dari impor gula. Setidaknya, mereka mendapat bayaran minimal Rp1.000 per kg jika berhasil datangkan gula impor,” kata Heri.

Dibukanya keran impor gula membuat Kementerian Perdagangan sedang membuka peluang besar bagi kerugian finansial triliunan rupiah yang dinikmati para mafia.

"Dari 2,21 juta ton impor gula dengan mafia mendapat keuntungan Rp1000 per kilogram, maka akan merugikan uang negara Rp2,21 triliun. Ini angka yang fantastis,” sebut dia.

Dia menganggap mafia itu bekerja secara sistematis dan teratur dengan memanfaatkan lemahnya industri gula nasional yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gula untuk industri makanana dan minuman dalam negeri. 

“Alasan mereka klasik, yakni gula nasional tak layak konsumsi, kualitas gula nasional tidak standar, produksi kurang. Mereka terus menghembuskan mantra-mantra "jahat" itu untuk "menekan" pemerintah mengeluarkan izin impor gula,” tegas dia.


Buka impor gula, Pemerintah dinilai untungkan mafia

KBRN, Jakarta : Kebijakan pemerintah menerbitkan izin impor gula dibuka dinilai hanya akan menguntungkan kelompok mafia sehingga membuat negara merugi bahkan mencapai angka fantastis triliunan rupiah.

"Dari 2,21 juta ton impor gula dengan mafia mendapat keuntungan Rp1000 per kilogram, maka akan merugikan uang negara Rp2,21 triliun. Ini angka yang fantastis," kata Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan, Selasa (4/8/2015), dalam keterangan tertulis.

Heri menyatakan, kondisi lemahnya industri gula nasional ikut didorong kepentingan mafia, sehingga ketika kebutuhan gula untuk industri makan-minum dalam negeri tidak dapat dipenuhi dikeluarkanlah kebijakan impor.

"Alasan mereka klasik, yakni gula nasional tak layak konsumsi, kualitas gula nasional tidak standar, produksi kurang. Mereka terus menghembuskan mantra-mantra jahat itu untuk menekan pemerintah mengeluarkan izin impor gula," kata Heri.

Celakanya, ujar Heri, kran impor gula ini dibuka Kementerian Perdagangan pada saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pengusutan tata niaga gula.

Seharusnya, lanjutnya, pemerintah menantikan hasil investigasi KPK terlebih dulu sebagai bahan pertimbangan pembenahan dalam segi tata niaga khususnya impor untuk mencegah terjadi kerugian negara.

Menurutnya, KPK telah mendeteksi terjadi dugaan korupsi impor gula sehingga berkaitan pemanggilan beberapa waktu lalu terhadap Menkoperekonomian Sofyan Djalil, Menteri Perindustrian Saleh Husin, dan Irjen Kemendag Karyanto untuk memaparkan hasil temuan tersebut.

"Sebelumnya, Presiden Jokowi pernah mengakui sedang dikepung para mafia gula. Mafia-mafia itu tidak henti-hentinya menghisap untung dari impor gula. Setidaknya, mereka mendapat bayaran minimal Rp1.000/kg jika berhasil datangkan gula impor," tutupnya. (RZ/WDA)

Kebijakan Pemerintah Soal Gula Tidak Konsisten

Jakarta (dpr.go.id) - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam mewujudkan Kebijakan Daulat Gula Nasional yang berpihak pada petani. Presiden Jokowi pernah berjanji akan menyetop impor gula apabila merugikan petani tetapi Kementeritan Perdagangan malah mengeluarkan izin impor pada 1 April 2015.

"Ini pemerintah seperti lain bicara lain tindakan, tidak mewakili rasa sakit petani tebu. Karena itu jangan salahkan kalau dipublik muncul kesan pemerintah ini tidak sungguh-sungguh berpihak pada petani,"  katanya dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (30/3/14).


Wakil rakyat dari daerah pemilihan Jabar IV ini mengingatkan janji Jokowi akan menghentikan impor gula kepada petani tebu di Padepokan Arum Sabil, Desa Tanggul Kulon Kecamatan, Jember, Jawa Timur beberapa waktu lalu. Waktu itu presiden menekankan kalau memang merugikan petani, dan gula dalam negeri cukup maka impor gula disetop.

Sementara Kementerian Perdagangan mengeluarkan izin impor gula mentah (raw sugar) untuk industri sebanyak 945.643 ton. Izin tersebut berlaku mulai 1 April 2015 sampai dengan 30 Juni 2015 atau hanya untuk kuartal kedua.

"Saya menyayangkan kebijakan Kemendag yang menerbitkan izin impor gula yang mulai berlaku per 1 April 2015. Kebijakan tersebut sungguh menyakiti perasaan petani kita yang terus terpuruk karena harga gula yang terus merosot di pasaran karena kebijakan impor," tegas dia.

Ia menekankan minimnya koordinasi antara Kemendag, Kementan, Kemenperin sehingga dengan mudahnya pemerintah menyerah dan ujug-ujug melakukan impor gula yang nyata-nyata merugikan petani. Saat ini dengan HPP gula yang masih tinggi sekitar Rp8.500 dan mulai memasuki musim giling, sudah pasti petani akan sangat dirugikan karena gula impor bisa dijual lebih rendah.

Seharusnya ada kebijakan yang nyata atas pembatasan impor gula mentah untuk industri makanan, minuman dan farmasi yang memerlukan gula dengan tingkat kemurnian tinggi (icumsa 45) agar tidak merembes ke pasar-pasar tradisional dan merusak harga gula di pasaran.

Politisi FP Gerindra ini menilai pemerintah belum cukup berupaya mewujudkan solusi yang pernah diajukan petani dan beberapa asosiasi gula diantaranya, benahi dan tingkatkan randemen gula dari 7 menjadi 10% sehingga HPP bisa ditekan, merevitalisasi pabrik gula yang berumur tua (dari 62 pabrik yg ada, 40 di antaranya sudah berumur di atas 100 tahun) dan melakukan perluasan areal tanam tebu yang saat ini hanya sekitar 470 ribu hektar dan dinilai belum ideal untuk menopang program swasembada gula. (iky)

Kebijakan Gula Nasional Perlu Pro Petani

Jakarta (dpr.go.id) - Pemerintah diminta melakukan revitalisasi dan koordinasi yang lebih baik untuk menyusun kebijakan daulat gula nasional. Kemendag, Kementan, Kemenperin sertai instansi terkait lainnyanya perlu duduk besama menetapkan kebijakan yang lebih memihak kepada pelaku utama yaitu petani tebu.

"Pemerintah perlu serius menyusun kebijakan daulat gula nasional, beri subsidi dan insentif yang sunguh-sungguh pada petani, hitung ulang kapasitas yang bisa dipasok oleh pabrik dalam negeri, lakukan pengetatan terhadap importasi gula," kata Wakil Ketua Komisi VI Heri Gunawan saat dihubungi di Jakarta, Rabu (7/1/15).

Ia menekankan kebijakan menaikan harga gula, bukanlah solusi yang tepat pada saat ini karena harga gula yang tinggi hanya menguntungkan untuk pabrikan gula yang telah efisien dan pedagang bukan petani.

Pada bagian lain wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Barat IV meminta pemerintah mencermati dugaan perembesan gula rafinasi ke pasaran. "Kemendag harus menghitung ulang dan mengevaluasi kebutuhan gula refinasi, kalau terbukti terjadi perembesan gula rafinasi, izin importir harus dicabut," tekannya.

Politisi FP Gerindra ini mengkhawatirkan tanpa disadari kebijakan gula nasional saat ini  merupakan bagian dari skenario 'tata kelola pangan global' yang ujungnya menghancurkan petani dan Indonesia pada akhirnya bergantung dari impor. Itulah sebabnya dalam tahun 2015 ini pemerintah perlu meningkatkan efisiensi pabrik gula lokal.

"Dengan rata-rata rendemen hanya 7,2 persen, biaya produksi gula berbasis tebu di dalam negeri mencapai Rp 8.500/kg. Sedangkan, gula mentah impor yang diolah menjadi gula rafinasi dapat dijual dengan harga hanya Rp 6.000-7.500/kg. Berarti gula refinasi lebih murah 1000 - 2000 per kg. Sementara, willingnes to pay (daya beli) konsumen hanya Rp 6.000-7.500 per kg. Ini yang harus diantisipasi pada tahun 2015 dengan meningkatkan  efisiensi pabrik gula lokal minimal sampai 10 persen," demikian Heri. (iky)

Komisi VI DPR Soroti Industri Gula : Pabrik Gula Harus Di Revitalisasi


SUKABUMI  - Pabrik Gula (PG) harus direvitalisasi untuk mendongkrak angka rendemen (perbandingan kadar gula terhadap berat tebu giling). Pasalnya, usia pabrik gula saat ini sudah terlalu tua. Revitalisasi tersebut harus dilakukan mulai  dari mesin produksi, teknologi, gudang penyimpanan dan sumber daya manusia. Termasuk,  manajemen industri dan perdagangan gula dalam mengurusnya harus lebih fokus. Dengan begitu akan mendongkrak produksi gula nasional. 

Demikian ditegaskan Wakil Ketua Komisi VI DPR, Heri Gunawan (HG)  dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Senin (22/12) sore. 

Menurut HG, rencana pemerintah untuk membangun industri gula terintegrasi berbasis tebu dan menghentikan gula mentah impor  perlu mendapat dukungan semua pihak. HG menilai  manajemen industri dan perdagangan gula saat ini  tidak menentu. Stakeholder gula masih memperjuangkan kepentingannya masing-masing, belum punya visi besar yang serius dan sungguh-sungguh.

Dicontohkan HG, pelaku industri gula terus meminta tambahan kuota impor gula, meski harga jual petani terus anjlok seiring menumpuknya stok gula di pabrik. 

"Sudah lama kita tidak pernah sungguh-sungguh dan fokus mengurus manajemen industri dan perdagangan gula. Saat ini, pemerintah lebih banyak memberi insentif terhadap bea masuk impor, sehingga menggerus pasar gula dalam negeri ketimbang memberi insentif bagi petani tebu," kata politikus muda Partai Gerindra yang menjabat Ketua DPP Bidang Perdagangan ini.

Solusi jangka pendek, lanjut HG, mayoritas PG yg ada saat ini merupakan PG dengan dengan usia sudah ratusan tahun yang menggunakan teknologi lama bertekanan rendah. Seharusnya PG direvitaslisasi dengan teknologi bertekanan tinggi. Tentunya revitasilasi PG ini membutuhkan investasi. Salah satu caranya secara bertahap import row sugar  diprioritaskan pada PG berbasis tebu, terutama PG BUMN.

"Kita berharap keuntungan mengelola row sugar menjadi gula kristal putih sebagai insentif untuk dapat merevitalisasi PG, sehingga efisiensi PG mengalami peningkatan," tegasnya.

Di samping revitalisasi PG, lanjut HG,  juga harus ada koordinasi yg kuat antara kementerian perindustrian, kementrian perdagangan, dan kementerian pertanian dalam membangun manajemen industri dan perdagangan gula yang memiliki visi nasionalistik. Sehingga akan mampu melindungi petani tebu. "Selama pemerintah tdk pernah serius memberi insentif bagi petani gula maka selama itu pula industri gula nasional tdk punya harapan," cetusnya. 

Menurut HG, secara bertahap revitalisasi PG BUMN bisa memenuhi kebutahan gula lokal dan menyetop impor. Persoalan sekarang adalah  masalah ketergantungan pada gula mentah impor dan tidak adanya insentif pemerintah pada petani tebu. Seharusnya PG BUMN mampu mengelola industri pengolahan yang terkait erat dengan usaha tani.  Pengelolaan usaha tebu di tangan petani, sedangkan penggilingan ditangani PG. 

"Hal ini akan menyulitkan PG dalam mengatur waktu tebang dan angkut, kualitas tebun sehingga berpengaruh buruk terhadap rendemen dan produktivitas tebu. Di sini dibutuhkan kerjasama yang sinergi antara perusahaan PG BUMN, Bulog dan perbankan BUMN agar mampu melindungi petani produsen, dan konsumen serta mengoreksi struktur pasar oligopsoni/oligopoli," tandasnya. (*)

Pembenahan Industri Gula Perlu Kesungguhan

Jakarta (dpr.go.id) - Pemerintah lewat Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana membangun industri gula berbasis tebu sekaligus menghentikan impor gula mentah. Rencana ini dinilai sangat bagus dan perlu didukung. Namun, jangan hanya berhenti di tataran wacana. 

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan menegaskan hal tersebut saat dihubungi, Senin (22/12). Saat ini, menajemen industri dan perdagangan gula, memang, belum menentu arahnya. Para pemangku kepentingan di sektor produksi gula masih memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Belum ada visi besar yang serius dan sungguh-sungguh yang diusung pemerintah.

“Rencana menyetop impor gula sangat bagus dan perlu didukung. Namun, jangan hanya wacana dan jadi angin segar bagi petani gula,” ujar Heri. Hingga saat ini, sambung Heri, pelaku industri gula terus meminta tambahan impor gula, meski harga jual petani terus merosot seiring menumpuknya stok gula di pabrik. “Sudah lama kita tidak pernah sungguh-sungguh dan fokus mengurus manajeman industri dan perdagangan gula.”

Ditegaskan politisi muda Partai Gerinda ini, pemerintah masih lebih banyak memberi insentif bea masuk impor gula daripada memberi insentif  bagi petani tebu. Kebijakan ini justru akan terus menggerus pasar gula dalam negeri. Apalagi, perusahaan gula nasional yang ada sekarang usianya sudah ratusan tahun dengan menggunakan teknologi lama bertekanan rendah. Untuk itu, peruahaan gula nasional harus direvitalisasi bila ingin mencanangkan pembangunan industri gula tebu secara integratif sekaligus menyetop impor.

“Revitalisasi membutuhkan investasi. Mungkin salah satu caranya, secara bertahap impor raw sugar (gula mentah) diprioritaskan pada perusahaan gula berbasis tebu, terutama perusahaan gula BUMN. Kita berharap, keuntungan mengelola raw sugar menjadi gula kristal putih merupakan insentif untuk bisa merevitalisasi perusahaan gula. Dengan begitu, efisiensi perusahaan gula akan mengalami peningkatan,” papar Heri. (mh)/foto:iwan armanias/parle/iw.

Sumber : www.dpr.go.id

Revitalisasi Industri Gula Mendesak Dilakukan

Jakarta (dpr.go.id) - Rencana pemerintah menyetop impor gula dan membangun kembali industri gula nasional patut diapresiasi. Kebijakan tersebut perlu diiringi revitalisasi industri gula untuk menjawab tantangan masa depan.

Selain merevitalisasi perusahaan gula nasional, koordinasi antara tiga kementerian perlu diperkuat, yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pertanian. “Membangun manajemen industri dan perdagangan gula perlu visi nasionalistik yang mampu melindungi petani tebu.” Demikian dikemukakan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan, Senin (22/12).

Revitalisasi yang dimaksud, diantaranya memperbarui akses teknologi dan sistem insentif bagi para petani tebu. “Selama pemerintah tidak pernah serius memberi insentif bagi petani tebu, selama itu pula industri gula nasional tidak punya harapan,” kata politisi Partai Gerindra tersebut. Sementara akses teknologi, yaitu peremajaan alat produksi di pabrik-pabrik gula nasional yang tujuannya untuk meningkatkan kapasitas produksi.

Peralatan produksi yang sudah tua dan usang di industri gula nasional menjadi celah bagi para produsen gula rafinasi untuk menyingkirkan industri gula berbasis tebu. Ini harus menjadi perhatian dan bagian dari program revitalisasi industri gula. Bila industri gula nasional sudah direvitalisasi, sambung Heri, secara bertahap bisa melepas dari ketergantungan impor.

Menurut Heri lagi, masalah krusial di industri gula adalah perusahaan gula nasional yang dipegang BUMN belum mampu mengelola industri pengolahan yang terkait erat dengan usaha tani. “Pengelolaan usaha tebu ditangan petani. Sedangkan penggilingan di tangan perusahaan gula. Ini akan menyulitkan perusahaan gula dalam mengatur waktu tebang dan angkut produksi tebu.”

Solusi lain dalam merevitalisasi industri gula adalah para petani gula bisa menyerahkan lahannya sebagai saham untuk dikelola oleh perusahaan gula nasional atau pemerintah kembali menyewa lahan petani. “Di sini dibutuhkan kerja sama yang sinergi antara perusahaan gula BUMN, Bulog, dan perbankan BUMN agar mampu melindungi petani produsen dan konsumen. Ini juga untuk mengoreksi struktur pasar oligopsoni dan oligopoli,” jelas Heri. (mh), foto : naefurodjie/parle/hr.