Berjuang Bersama Gerindra dan Prabowo Subianto

Mengamalkan TRIDHARMA Kader Partai Gerindra : Berasal Dari Rakyat, Berjuang Untuk Rakyat, Berkorban Untuk Rakyat.

Heri Gunawan Seminar Nasional

Tantangan dan Peluang Bisnis bagi Generasi Milenial.

Jalan Santai

Jalan Santai yang diselenggarakan Rumah Aspirasi dan Inspirasi Heri Gunawan

Kunjungan Ketua Umum GERINDRA

Prabowo Subianto Melakukan Kunjungan ke Sukabumi

Bantuan Hand Traktor

Heri Gunawan Memfasilitasi Bantuan 30 Unit Traktor Untuk Gapoktan di Kabupaten Sukabumi Pada Tahun 2015

Komisi XI DPR RI Bersama Gubernur BI

Heri Gunawan, Sebagai Anggota Komisi XI DPR RI Yang Membidangi Keuangan dan Perbankan

Kunjungan Kerja BKSAP DPR RI Ke Australia

Heri Gunawan Sebagai Anggota BKSAP DPR RI saat berkunjung dan berdialog dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Australia

Tampilkan postingan dengan label Komisi VI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Komisi VI. Tampilkan semua postingan

BUNG HATTA DAN KOPERASI SEBAGAI SOKO GURU KESEJAHTERAAN

Oleh: Heri GunawanAnggota Komisi XI DPR RI 
Fraksi Partai GERINDRA Dapil Jawa Barat IV


Apa bentuk perekonomian yang paling “pas” untuk Indonesia? Ini adalah pertanyaan penting yang diajukan para pendiri bangsa—yang oleh Bung Hatta dijawab dengan tegas: KOPERASI (kerjasama, cooperative).

Koperasi itu adalah wujud konkret dari pikiran-pikiran besar para pendiri bangsa tentang cita-cita sistem perekonomian sebagai “usaha bersama” yang dijalankan berdasarkan atas azas “kekeluargaan.”

Gagasan itu muncul dari kesadaran bahwa kapitalisme tak cocok dengan alam Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan menyebutnya sebagai “suatu tanaman asing di negeri asing.” Sebuah konsepsi yang tidak bisa dijalankan dalam kultur dan sistem sosial asli bangsa Indonesia, yakni kolektivisme.

Harus dipahami bahwa masyarakat kita adalah masyarakat gotong-royong. Masyarakat kolektif. Masyarakat yang gemar tolong-menolong, bahu-membahu, udunan, dsb. Seluruh nilai itu sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi yang mengedepankan kebersamaan serta mendidik toleransi dan rasa tanggung-jawab.

Tidak heran, Bung Hatta menyebut koperasi sebagai media pendidikan dan penguatan demokrasi sebagai cita-cita bangsa. Lebih jauh, Bung Hatta mengatakan, koperasi juga akan mendidik semangat percaya pada kekuatan sendiri (self help), Berdikari. Yang lebih penting lagi, kata Bung Hatta, koperasi bisa menempa ekonomi rakyat yang lemah agar menjadi kuat. Koperasi bisa merasionalkan perekonomian, yakni dengan mempersingkat jalan produksi ke konsumsi. Bagi Bung Hatta, koperasi merupakan senjata persekutuan si lemah untuk mempertahankan hidupnya.

Saat ini, berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah koperasi sebesar 140 ribu. Sayangnya, data itu hanya hasil proyeksi dari data tahun 2006. Artinya, data itu validitasnya masih terhitung lemah. Celakanya, dari data yang tidak terlalu valid itu, lebih dari 70% hanya “papan nama.” Bahkan, di sejumlah tempat, koperasi menjadi “ruang” transaksi dana-dana asing yang patut diduga dipakai untuk tujuan penguasaan sumber daya lokal.

Kondisi itu sangat menyedihkan. Sebab, sejak awal, koperasi ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara riil dan mengakar sampai bawah. Menciptakan Ekonomi Berdikari yang kuat, adil dan merata.

Jauh sebelum ini, Bung Hatta, yang digelari Bapak Koperasi Indonesia, sudah mengingatkan tantangan yang akan dihadapi koperasi. Beliau telah mewanti-wanti berbagai bentuk penyelewengan terhadap koperasi. Di masa lalu, katanya, hal ini membuat gerakan koperasi ambruk. Di masa lalu itu, ujar Bung Hatta, keadaan koperasi tak bedah jauh dengan kongsi biasa. Ironisnya, koperasi menjadi lahan mencari keuntungan. Inilah yang membawa malapetaka: gerakan koperasi mencekek lehernya sendiri.

Setidaknya ada dua bentuk kesalahan penyelenggaraan koperasi di masa lalu :

Pertama, koperasi mendorong anggotanya sangat giat untuk mendapatkan dividen yang besar di akhir tahun. Caranya: koperasi menjual mahal kepada anggotanya. Nah, supaya anggota tak membeli di “tempat lain”, maka para anggota diharuskan membeli di koperasi sendiri. Kalau tidak mau dicap “penghianat”. Konsekuensinya, anggota yang membeli paling sering tentu memberi keuntungan paling besar bagi koperasi.

Sementara itu, anggota yang paling jarang membeli akan mendapat untung besar dari kawannya yang membeli banyak. Bagi Bung Hatta, jenis koperasi ini hanya akan memupuk egoisme anggotanya.

Kedua, ‘kepicikan faham’ dalam menjalankan taktik penjualan. Di sini, koperasi hanya menjalankan penjualan pada anggotanya sendiri. Sedangkan orang luar dilarang membeli. Tindakan ini, kata Bung Hatta, justru mengecilkan penjualan.

Kalau penjualan kecil, maka ongkos—sewa toko, gaji personil, biaya listrik, dll—akan mahal. Biasanya, supaya tak rugi, koperasi terpaksa menjual mahal barang-barangnya. Sedangkan kalau penjualan besar, maka ongkos pun menjadi ringan.

Jadi, penjualan memang harus dibuka ke masyarakat umum. Apalagi, kata Bung Hatta, koperasi bukanlah persekutuan egoisme segolongan manusia. Koperasi diciptakan untuk menjadi persekutuan ekonomi si lemah (anggota dan non-anggota).

Ketiga, koperasi dibangun untuk mengejar keuntungan. Akibatnya, koperasi tak ada bedanya dengan perseroan atau perusahaan. Bung Hatta, koperasi memang memerlukan keuntungan, namun itu bukan tujuan utama. Yang utama, kata Bung Hatta, adalah usaha bersama untuk memurahkan pembelian anggotanya.

Nah, kalaupun ada keuntungan dari kegiatan koperasi, Bung Hatta mengusulkan agar keuntungan itu dipakai sebagai tambahan modal atau dana cadangan. Dengan begitu, koperasi tak perlu terganggu kalau ada anggota yang mundur. Maklum, kalau ada anggota yang mundur, berarti uang iurannya harus dikembalikan. Artinya, modal koperasi akan berkurang. Itu akan ditalangi oleh keuntungan tadi.


Keempat, karena orientasinya adalah keuntungan, maka saat ini, operasi manajemen koperasi adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Hal itu tidak jarang mengorbankan anggota. Hak-hak anggota tercerabut dan tidak jarang hanya jadi “hiasan” dalam AD/ART koperasi.

Lantas, di mana untungnya anggota koperasi? Bagi Hatta, keuntungan menjadi anggota koperasi adalah mencapai keperluan hidup, yakni barang kebutuhan, dengan harga semurah-murahnya.

Seperti disebutkan di atas, tujuan koperasi bukanlah menggali keuntungan, melainkan memenuhi kebutuhan bersama. Agar berhasil, kata Bung Hatta, maka koperasi mesti berdiri pada tiang penyanggahnya, yaitu solidaritas. Semangat setia bersekutu, kerja sama berdasarkan azas kekeluargaan.

Kebersamaan itu harus didasarkan pada kesadaran untuk mencapai keperluan hidup bersama-sama. Dan di sinilah cerminan kultur bangsa Indonesia yang asli harus terlihat, yaitu sifat yang menunjukkan kehalusan budi dan keteguhan watak. Salah satu contohnya adalah kejujuran.

Inilah sifat yang harus melandasi gerakan koperasi. Kalau koperasi tak dilandasi semangat solidaritas, maka anggota tak akan menemukan kepentingan bersama. Jadinya, koperasi dijadikan alat untuk mencapai keperluan pribadi.

Ujungnya, semangat berkoperasi menjadi nihil. Manusia yang tak punya semangat untuk memperjuangkan hidupnya akan cenderung pasrah pada nasib dan akibatnya membiarkan koperasi berjalan tak ubahnya korporasi berwatak kapitalisme.

Sebab itu, ke depan, koperasi harus diikat diikat dengan peraturan-peraturan yang ketat. Peraturan itu harus mampu mengejawantahkan semangat Pasal 33 UUD 1945. Ini penting sebagai aturan main dalam menjalankan koperasi itu. Dan karena itu pula, ketika saya—yang ditugaskan oleh Partai GERINDRA—sebagai Pimpinan di Komisi VI DPR RI yang membawahi Kementerian UKM dan Koperasi, mulai mendiskusikan pikiran-pikiran besar Bung Hatta tersebut sebagai basis pandangan-pandangan fraksi di DPR. Sayangnya, hingga hari ini, revisi atas UU No. 17 Tahun 2012 yang merupakan atas UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, masih mandeg.

Karena itu, perjuangan belum usai. Masih banyak pekerjaan rumah perkoperasian yang harus dibereskan. Lebih-lebih kita, khususnya di Kab/Kota Sukabumi sedang menghadapi 3 (tiga) tantangan besar, yaitu: sempitnya kesempatan kerja, lemahnya daya saing, dan pasar bebas seperti MEA yang menuntut adanya kekuatan SDM dan sistem yang kuat.

Karena itu, untuk menghadapi hal tersebut, kita harus kembali ke model perekonomian yang sesuai dengan kultur dan identitas kita sebagai bangsa dengan sifat dan budi pekerti yang luhur. Yang bekerja bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan. Dan itu tidak lain mengembalikan KOPERASI sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Soko guru kesejahteraan!

Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, meridhoi perjuangan kita semua. Atas nama warga Sukabumi, Saya Heri Gunawan. Terimakasih

* Disampaikan pada acara Intermediasi Antar Lembaga yang diadakan oleh Dekopinda Kota Sukabumi, Hotel Berlian, 11 Agustus 2016




DPR: Sudirman Said Ngotot Blok Masela di Laut karena Ada Bisnisnya JK


JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -  Isu keinginan Sudirman Said untuk mundur dari jabatannya sebagai Menteri ESDM pasca-keputusan Jokowi terkait Blok Masela direspon kalangan DPR. DPR menganggap Sudirman lebih mementingkan kelompoknya daripada kepentingan bangsa ini.

Diketahui, isu ini berembus kencang pada hari ini, Kamis (24/3/2016). Disebutkan, keinginan Sudirman untuk mundur karena kecewa usulannya tentang pembangunan Blok Masela dimentahkan Jokowi yang lebih memilih usulan Rizal Ramli.

"Maunya di laut karena ada bisnisnya JK. Rekom Komisi VI saat saya pimpin rapat kudu di darat. Saat kunker ke malut juga aspirasi mereka di darat," kata anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan kepada TeropongSenayan di Jakarta, Kamis (24/03/2016).

Ia menjelaskan, keputusan kilang di darat sudah tepat karena ada multiplier effek yang besar buat perkembangan daerah.

"Biarin saja mundur. Kan semakin terlihat mana loyang mana emas. Masa enggak bisa evaluasi dan analisa sih," tandas eks Wakil Ketua Komisi VI DPR RI ini. (iy)

Diapresiasi, Pembentukan Komite Konsolidasi BUMN

Jakarta (dpr.go.id) - Kementerian BUMN telah membentuk komite konsolidasi BUMN pertahanan strategis dan komite konsolidasi BUMN industri berat dan perkapalan. Langkah ini diapresiasi untuk menumbuhkan tata kelola yang profesional dan efisien.

Penilaian positif ini disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan dalam rilisnya yang diterima Parlementaria, Rabu (10/2). Anggota F-Gerindra ini, berharap agar konsolidasi tersebut mampu membangkitkan industri strategis nasional yang kini dipegang PT. DI, PT. Pindad, PT. Dahana, PT. Len Industri, PT. Inti, dan PT. Inuki.

“Bangkitnya BUMN-BUMN itu akan memberi banyak efek antara lain serapan tenaga kerja yang lebih banyak, pembagian dividen dan pajak yang lebih besar kepada negara, serta menghasilkan nilai tambah lebih tinggi terhadap perekonomian nasional dengan efek berganda yang dahsyat. Industri dasar, industri hulu, industri hilir, dan industri antara, akan berkembang pesat,” papar Heri.

Sementara itu, di bidang industri berat dan perkapalan, konsolidasi kerja sama dilakukan antara PT. PAL, PT. Barata Indonesia, PT. Boma Bisma Indra, PT. Industri Kapal Indonesia, Dop Perkapalan Semarang, dan Dop Perkapalan Koja Bahari. Politisi dari dapil Jabar IV itu mengatakan, komite konsolidasi harus mampu menjalankan semangat Pasal 4 dan 5 UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara.

Pasal 4 menyebutkan, pertahanan negara bertujuan menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa Indonesia dari segala bentuk ancaman. Sementara pasal 5 menyebutkan, fungsi pertahanan negara untuk mempertahankan NKRI sebagai satu kesatuan pertahanan. Dengan konsolidasi ini, lanjut Heri, BUMN industri strategis bisa bergerak lebih lincah, sinergis, dan fokus pada core-competency-nya.

“Komite konsolidasi harus mampu menjangkau konsolidasi manajemen bisnis, aset, keuangan, dan ekonomi. Dengan begitu, BUMN kita bisa lebih tangguh dan berdaya saing jika ditandingkan dengan perusahaan luar negeri dengan jenis dan skala yang sama,” kilah Heri. Saat ini banyak BUMN yang core bussines-nya relatif mirip, sehingga akan lebih efektif jika dikelola dalam satu manajemen.

Konsolidasi ini juga, sambung Heri, harus memperhatikan anak-anak perusahaan BUMN yang makin tidak terkontrol dan beroperasi di luar core-nya. Konsolidasi harus berjalan secara total dan komprehensif. Tidak sekadar ramping di atas, tapi menggurita di bawah tanpa terkendali.

Tak hanya itu, kekayaan aset dan human capital BUMN harus menjadi bagian yang diperhatikan komite konsolidasi. “Komite konsolidasi harus mampu membuat terobosan atas masalah anggaran industri strategis yang selama ini masih terbilang relatif minim,” tutup Heri. (mh), foto : arief/parle/hr.

Kasus PLTU Jawa 7 Bukan Level Panja Tapi Pansus

JAKARTA (BeritaMoneter) - Rencana Komisi VI DPR membuat Panita Kerja (Panja) PLN terkait mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 7 mendapat penolakan sesama anggota dewan. Alasannya panja justru akan menimbulkan saling curiga. “Mestinya yang efektif itu mendorong pembentukan Panitia Khusus (Pansus). Karena pansus lebih terbuka, sehingga masyarakat bisa melihat semuanya,” kata Mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan di Jakarta, Jumat (12/2/2016).
Seperti diketahui proyek PLTU Jawa 7 yang berlokasi di Bojonegara, Banten memiliki kapasitas 2 X 1000 MW. Nilai investasinya diperkirakan mencapai Rp40 triliun.
Namun proyek ini diduga memiliki sejumlah kejanggalan.

Bahkan ditengarai sarat dengan berbagai persekongkolan. Dalam dokumen tender itu, pemenang tender China Shenhua tak mencantumkan harga Enginering Procurement and Construction (EPC).
Padahal ini menjadi salah satu prasyarat mengikuti tender. Pun begitu, Shenhua tidak mencantumkan EPC Cost Major Deviation. Bahkan didalam dokumen ini EPC nya tertanda not availabble. “Lho, Centurygate yang hanya Rp6,7 triliun saja bentuk pansus, kok PLTU Jawa 7 yang nilainya Rp40 triliun, kenapa hanya panja,” ucap Heri seraya mempertanyakan.
Jadi dengan pansus, kata anggota Fraksi Partai Gerindra, maka pembahasan bisa dilakukan secara transparan dan tidak ada yang ditutup-tutupi. “Buka saja keanehan-keanehan dalam proyek PLTU Jawa 7 itu, siapa saja yang bermain. Jadi nanti ketahuan siapa saja backingnya,” tambahnya.
Menurut Heri, ini merupakan proyek strategis dan menelan anggaran yang besar. Sehingga DPR tidak boleh bermain-main. “Dengan pansus, maka target meminimalisir penyelewengan anggaran negara bisa diperkecil. Nah, kalau panja, kita tidak tahu apa target yang mau dicapai,” paparnya.
Anggota Komisi XI DPR ini mengingatkan agar sesama anggota dewan jangan sampai “masuk angin”. “Kita tidak ingin negara terus menerus dirugikan dengan berbagai permainan oknum,” imbuhnya.
Sebelumnya, sejumlah anggota Komisi VI DPR, baik Azam Azman Natawijaya (F-PD) dan Darmadi Durian (F-PDIP) cenderung menginginkan pembentukan panja ketimbang pansus. “Kita sepakat bentuk panja karena nilainya besar dalam proyek tersebut dan panja nantinya akan menelaah apakah ada kesalahan dan panja juga akan masuk ke pelanggaran-pelanggaran lain di PLN jadi tidak hanya soal PLTU Jawa 7 saja,” tandas Azam lagi.

DPR Desak KPK Usut Kongkalingkong BUMN dengan Swasta


JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan menyayangkan adanya dugaan penyimpangan dalam pengelolaan aset negara yang dilakukan salah satu perusahaan plat merah yakni PT Hotel Indonesia Natour (HIN), terutama terkait perjanjian kontrak gedung dengan pihak swasta.

Adapun yang menjadi tanda tanya besar saat ini terkait pengelolaan aset negara yang dilakukan PT HIN, lanjut dia, dimana ada dua perusahaan besar seperti Menara BCA dan Apartemen Kempinski yang tak ada dalam kontrak kerjasama Build Operate and Transfer (BOT) antara PT HIN (BUMN) dengan PT Grand Indonesia dan PT Cipta Karya Bumi Indonesia, namun dapat dengan leluasa beroperasi.

"Menyayangkan semerawutnya manajemen PT HIN sebagai BUMN yang mestinya berkontribusi atas penerimaan negara. Manajemen yang buruk itu telah menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan triliunan rupiah," kata Heri kepada TeropongSenayan di Jakarta, Senin (08/02/2016).

Selain itu, kata dia, pembangunan Menara BCA dan apartemen itu diduga telah menyalahi kontrak. Sebab dalam kontrak awal hanya ada empat BOT.

Pertama, hotel bintang lima seluas 42.815 m2. Kedua, pusat perbelanjaan I seluas 80.000 m2. Ketiga, pusat perbelanjaan II seluas 90.000 m2, dan fasilitas parkir seluas 175.000 m2, ungkap dia.

"Jadi, kasus itu adalah pelanggaran yang berkategori merugikan keuangan negara sebagaimana temuan khusus BPK sebesar Rp 1,2 triliun," terang dia.

Adapun bentuk-bentuk pelanggaran yang dimaksud adalah pertama, jangka waktu kerjasama yang melebihi 30 tahun; kedua, kompensasi tahunan tidak sesuai dengan persentase pendapatan; ketiga, sertifikasi Hak Guna Bangunan (HGB) yang dijaminkan pihak penerima BOT kepada pihak ketiga untuk memperoleh pendanaan; dan keempat, PT Cipta Karya  Bumi Indah yang lepas tanggung jawab setelah kontrak kerjasama ditandatangani.

Untuk itu, tegas dia, DPR RI meminta dan mendukung KPK untuk mengusut tuntas kerugian ekonomis atas tambahan gedung perkantoran (Menara BCA) dan apartemen di atas objek BOT yang secara tidak jelas terdefinisi dalam perjanjian.

"Disamping pelanggaran agreement di atas, PT HIN patut diduga tidak patuh terhadap prinsip-prinsip penanaman modal yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007, yang terkait dengan perpanjangan kontrak, yang mana kontrak 30 tahun yang baru berjalan 3 tahun sudah diperpanjang lagi 20 tahun tanpa evaluasi sama sekali," pungkas dia. (mnx)

Komisi XI Desak KPK Usut Tuntas BOT PT HIN

VIVA.co.id – Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan memberikan catatan kritis terkait Menara BCA dan Apartemen Kempinski yang tidak ada dalam kontrak kerjasama Build Operate and Transfer (BOT) antara PT Hotel Indonesia Natour (BUMN) dengan PT Grand Indonesia dan PT Cipta Karya Bumi Indonesia.
Ia menyayangkan sembrautnya manajemen PT HIN sebagai BUMN yang mestinya berkontribusi atas penerimaan negara.
"Manajemen yang buruk itu telah menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan triliunan rupiah," ujarnya, Selasa 9 Februari 2016.
Ia menambahkan, pembangunan Menara BCA dan apartemen itu diduga telah menyalahi kontrak, sebab dalam kontak awal hanya ada empat BOT.
"Pertama, hotel bintang lima seluas 42.815 m2. Kedua, pusat perbelanjaan I seluas 80.000 m2. Ketiga, pusat perbelanjaan II seluas 90.000 m2, dan fasilitas parkir seluas 175.000 m2. Kasus itu adalah pelanggaran yang berkategori merugikan keuangan negara sebagaimana temuan khusus BPK sebesar Rp1,2 triliun," ucap politisi Gerindra ini.
Ia juga menuturkan, bentuk-bentuk pelanggaran yang dimaksud adalah pertama, jangka waktu kerjasama yang melebihi 30 tahun; kedua, kompensasi tahunan tidak sesuai dengan persentase pendapatan; ketiga, sertifikasi Hak Guna Bangunan (HGB) yang dijaminkan pihak penerima BOT kepada pihak ketiga untuk memperoleh pendanaan, dan keempat, PT Cipta Karya  Bumi Indah yang lepas tanggung jawab setelah kontrak kerjasama ditandatangani.
"Komisi XI Meminta dan mendukung KPK untuk mengusut tuntas kerugian ekonomis atas tambahan gedung perkantoran (Menara BCA) dan apartemen di atas objek BOT yang secara tidak jelas terdefinisi dalam perjanjian," jelasnya.
Heri mengatakan, di samping pelanggaran agreement di atas, PT HIN patut diduga tidak patuh terhadap prinsip-prinsip penanaman modal yang diatur dalam UU No 25 Tahun 2007, yang terkait dengan perpanjangan kontrak, yang mana kontrak 30 tahun yang baru berjalan 3 tahun sudah diperpanjang lagi 20 tahun tanpa evaluasi sama sekali.

80% Warga Indonesia Tak Nikmati Pertumbuhan Ekonomi Versi Bank Dunia

JAKARTAWOL – Ketimpangan ekonomi terus terjadi akibat model ekonomi yang diterapkan tak lagi merujuk pada falsafah Pancasila. Pertumbuhan ekonomi yang terus dicanangkan tak pernah bisa dinikmati secara merata oleh 250 juta rakyat Indonesia.
Menurut anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan, mengutip laporan Bank Dunia, dalam 15 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dianggap kuat, ternyata tidak linear dengan pencapaian kesejahteraan.
“Pertumbuhan itu lebih dinikmati oleh 20 persen masyarakat terkaya. Sedangkan, 80 persen penduduk atau lebih dari 205 juta orang rawan tertinggal,” ungkap Heri.
Ketimpangan yang dimaksud Heri selama ini adalah ketimpangan peluang dan ketimpangan di pasar kerja. Apalagi, konsentrasi kekayaan ada pada satu kelompok paten. Potret ketimpangan tersebut secara spasial mudah terbaca dari struktur perekonomian Indonesia tahun 2015. “Perekonomian nasional masih didominasi oleh kelompok provinsi di Jawa dan Sumatera yang memberi kontribusi masing-masing 58,52 persen dan 23,88 persen terhadap PDB,” urai Heri.
Sebaliknya, sambung Heri, kelompok di luar Jawa masih minim, lantaran ada ketimpangan infrastruktur dan energi. Sementara itu, jelas Anggota F-Gerindra DPR ini, dari sisi struktur usaha tahun 2015, sektor-sektor strategis seperti pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan hanya menyumbang 15,4 persen atas PDB. Padahal, jumlah tenaga kerja di sektor-sektor itu masih dominan, di atas 50 persen.
Menurut Heri, penyebab semua itu adalah minimnya penguatan SDM, investasi, teknologi, dan modal. Mencermati kenyataan ini, tentu ada yang salah dalam pembangunan ekonomi nasional. “Ekonomi sekarang masih sentralistik, timpang, dan tidak bersumber dari aktivitas riil yang menjadi jatidiri bangsa Indonesia bertahun-tahun.”
Politisi dari dapil Jabar IV itu menyeru, agar peran negara dan swasta perlu ditata kembali. Peran keduanya penting dalam sistem ekonomi nasional. Namun, hendaknya negara dan swasta tidak berperan dominan yang menjerumuskan ekonomi nasional pada sistem liberal dan sistem komando. Negara dan swasta harus hidup beriringan, berdampingan secara damai dan saling mendukung.
“Pemerintah harus berani keluar dari jebakan model ekonomi liberal-kapitalistik itu. Model ekonomi yang hanya menghasilkan 1 persen orang yang berkuasa atas 50 persen kekayaan nasional,” tegas Heri lagi. Pemerintah diimbau Heri berani merevisi instrumen pengukuran ekonomi lewat PDB dan kembali ke khittah ekonomi Pancasila yang mengedepankan spiritkebersamaan dan gotong royong.
Saat ini, para ekonom dunia, lanjut politisi dari dapil Jabar IV itu, tak lagi meyakini PDB sebagai instrumen yang tepat untuk mengukur kesejahteraan. Ekonom Yoseph Stiglitz adalah salah satunya. Pemerintah sekali lagi harus berani kembali ke jalan yang benar dengan mengokohkan konsep ekonomi Pancasila yang mampu meningkatkan pelayanan umum dari level desa, kecamatan, hingga kabupaten. Ekonomi Pancasila mampu menjamin kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak.(hls/data2)

Komisi VI Apresiasi Pemerintah Rampingkan Jumlah BUMN

VIVA.co.id - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan mengapresiasi rencana pemerintah merampingkan jumlah BUMN dari 119 menjadi 85.

Menurut politisi Gerindra, perampingan tersebut ditujukan untuk efisiensi BUMN. Dengan jumlah yang lebih kecil, BUMN bisa bersinergi dan fokus serta mampu menjalankan tugasnya sebagai agen pembangunan nasional.

“Perampingan tersebut ditujukan untuk memperkuat core business yang ada. Saat ini, banyak BUMN yang core business-nya relatif mirip sehingga akan lebih efisien jika dikelola dalam satu manajemen,”katanya.

Heri mengatakan, klasifikasi perampingan itu bisa dilakukan berdasarkan sektor strategis, seperti infrastruktur, pangan, pembiayaan, konstruksi, pertambangan, permesinan, pertahanan, dll.

“Perampingan tentunya harus ditujukan untuk mencapai konsolidasi manajemen bisnis, aset, keuangan dan ekonomi. Dengan begitu, BUMN kita bisa lebih tangguh dan berdaya saing. Bisa bersaing dengan perusahaan luar negeri,”ujarnya.

Selain itu, ujar Heri, perampingan harus difokuskan juga pada anak-anak perusahaan BUMN yang makin tidak terkontrol dan beroperasi di luar core business-nya. Sehingga tidak terjadi raping diatas, namun di bawahnya menggurita tanpa terkendali, tentunya harus tetap menjaga atas keberadaan aset BUMN itu sendiri baik aset dalam bentuk kekayaan BUMN maupun aset human capitalnya.

Tentunya rencana perampingan ini akan kita sinergikan dengan peraturan dalam bentuk Undang-undang yang akan dan sedang di bahas saat ini dan menjadi prolegnas DPR, untuk perbaikan terkait perubahan UU No 19/2003 tentang BUMN, agar BUMN kita benar-benar menjadi lokomotif pembangunan Indonesia secara lebih nyata, dimana rencana penggabungan ini sampai dengan tahun 2020.

Heri berharap UU BUMN yang baru sudah selesai dan diundangkan guna tercapainya tujuan BUMN sebagai agen pembangunan nasional.

"Perihal ini tentunya akan kami pertanyakan secara tegas dan jelas atas roadmap dan bisnis plan dari Kementerian BUMN dalam rapat kerja yang akan segera kami gelar," ujarnya di Senayan, Selasa 24 November 2015.

Ini 17 Item Terkait Perubahan UU BUMN

Jakarta (ANTARA News) - Komisi VI DPR RI sedang menyusun perubahan UU No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Perubahan UU BUMN tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas 2016 nomor urut 19.

Penyusunan perubahan tersebut juga dikarenakan adanya keinginan untuk mengurangi jumlah BUMN dari 119 BUMN menjadi 85 BUMN sebagaimana yang dilontarkan oleh Menteri BUMN, Rini Soemarno.

Berikut 17 item yang akan diubah dalam UU BUMN sebagaimana yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi VI DPR RIk, Heri Gunawan di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin.

1. Putusan MK No. 62/PUU-XI/2013 yang menyebutkan 1) bahwa BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya adalah (i) badan usaha kepunyaan negara, (ii) fungsinya menjalankan usaha sebagai derivasi dari penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta sumber daya alam Indonesia, (iii) sebagian besar atau seluruh modal usaha berasal dari keuangan negara yang dipisahkan, dan (iv) untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Atas dasar kesimpulan tersebut BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya berbeda dengan badan hukum privat yang juga menyelenggarakan usaha di satu pihak dan berbeda pula dari organ penyelenggara negara yang tidak menyelenggarakan usaha, seperti lembaga negara dan kementerian atau badan. 2) Masih terdapat permasalahan lain yang harus dipertimbangkan, yaitu mengenai paradigma fungsi BUMN atau BUMD sebagai kepanjangan tangan negara, yang dilaksanakan berdasarkan paradigma bisnis (business judgement rules) yang sungguh-sungguh berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan paradigma pemerintahan (government judgement rules).

2. Bahwa benar, kekayaan negara tersebut telah bertransformasi menjadi modal BUMN atau BUMD sebagai modal usaha yang pengelolaannya tunduk pada paradigma usaha (business judgment rules), namun pemisahan kekayaan negara tersebut tidak menjadikan beralih menjadi kekayaan BUMN atau BUMD yang terlepas dari kekayaan negara, karena dari perspektif transaksi yang terjadi jelas hanya pemisahan yang tidak dapat dikonstruksikan sebagai pengalihan kepemilikan, oleh karena itu tetap sebagai kekayaan negara dan dengan demikian kewenangan negara di bidang pengawasan tetap berlaku.

3. Filosofi Pembentukan BUMN: Dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai  hajat  hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” serta “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini menjadi prinsip sekaligus legitimasi bagi berdirinya BUMN dan juga pengelolaannya, dimana di dalamnya diamanatkan negara memiliki fungsi untuk mengatur (regelendaad) dilakukan melalui pembentukan peraturan, mengurus (bestuursdaad) dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie), mengelola (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan Badan Usaha Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan negara c.q. Pemerintah untuk mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan negara  bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan mengawasi (toezichthoudensdaad) yaitu pemerintah mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.

4. Maksud dan tujuan pendirian BUMN belum diatur pemisahan dan kriteria secara tegas tentang BUMN yang bertujuan untuk menjalankan kewajiban pelayanan umum atau yang bertujuan mengejar keuntungan, sehingga mencampuradukkan pengelolaan BUMN dan berakibat BUMN tidak profesional. Perubahan BUMN dilakukan tidak sesuai dengan tujuan awal pendiriannya misalnya Perum KAI menjadi PT KAI.

5. Belum jelasnya ketentuan mengenai definisi BUMN. Dalam praktek korporasi, BUMN mengacu sepenuhnya pada praktek korporasi Perseroan Terbatas padahal kedudukan BUMN harus dibedakan dengan praktek koporasi pada Perseroan Terbatas. Sebagai contoh adalah Permen No. 02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN yang mengatur bahwa proses penjualan aset BUMN hanya perlu melalui persetujuan RUPS.Perbedaan besaran kepemilikan modal antara definisi BUMN (UU BUMN) dengan perusahaan Negara (UU Keuangan Negara) menimbulkan multitafsir terhadap status perusahaan negara yang kepemilikan modalnya oleh Negara di bawah 51% namun tidak berstatus BUMN.

6. Pengertian “kekayaan negara yang dipisahkan” menimbulkan multi tafsir antara hak dan kewajiban Negara terhadap BUMN apakah Negara hanya berfungsi sebagai penatausahaan atau ikut bertanggung jawab penuh atas pengelolaan kekayaan Negara tersebut. Hal ini sudah ditegaskan berdasarkan Putusan MK yang menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN termasuk ke dalam lingkup keuangan negara sehingga kewenangan pengawasan tetap dilakukan oleh pemerintah.

7. Pengertian  “menteri” tidak jelas dan rancu, apakah Kementerian yang “memegang kuasa atas kekayaan Negara yang dipisahkan” dalam hal ini Menteri Keuangan, ataukah kementerian yang “memegang peran untuk melakukan pembinaan dan merumuskan kebijakan nasional terkait kelembagaan BUMN” dalam hal ini Menteri BUMN. Pengertian  “menteri” tidak jelas dan rancu juga terdapat pada pendelegasian wewenang menteri keuangan kepada menteri BUMN dalam RUPS, sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 41 tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara menyebabkan permasalahan dalam pelaksanaannya.

8. Kerancuan dalam pelaksanaan privatisasi yaitu dengan menjual BUMN dan belum memadainya pengaturan mengenai kriteria dan pelaksanaan privatisasi Persero. Dalam prakteknya ada BUMN yang menguntungkan justru diprivatisasi sehingga mengurangi potensi deviden dan pajak yang dapat disetor ke kas negara. Sementara di sisi lain banyak BUMN yang merugi namun tetap dipertahankan oleh negara walaupun BUMN tersebut tidak bersifat strategis dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, akibatnya pemerintah harus terus memberikan penyertaan modal negara kepada BUMN yang merugi tersebut. Oleh karena itu perlu batasan sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai negara yang dapat diprivatisasi dan tidak dapat diprivatisasi. Terhadap BUMN yang bersifat strategis dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak walaupun merugi tetap dikuasai oleh negara. Privatisasi harus menegaskan komposisi kepemilikan saham Pemerintah pada BUMN terbuka minimal 60 persen dan proses privatisasi BUMN harus mengedepankan partisipasi modal swasta dalam negeri.

9. Banyaknya pihak yang melakukan pemeriksaan eksternal keuangan terhadap BUMN sehingga terjadi tumpang tindih dan tidak mencerminkan efisiensi dan berkeadilan berdasarkan UU Keuangan Negara, UU BPK dan UU Perseoran Terbatas. Padahal kewenangan permeriksaan keuangan terhadap BUMN dilakukan oleh BPK. BPK dalam melakukan pemeriksaan masih menggunakan pendekatan government judgment rules semestinya pemeriksaan menggunakan pendekatan bussiness judgment rules.

10. Persyaratan organ BUMN : Pengangkatan Direksi; 1) Belum adanya ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai kualifikasi kompetensi yang menyebabkan Direksi BUMN dapat berpindah ke BUMN lain yang tidak sesuai dengan bidang kompetensinya. 2) Belum adanya ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai frekuensi masa jabatan Direksi BUMN menyebabkan Direksi BUMN dapat berpindah ke BUMN lainnya begitu masa jabatan nya habis dan dapat diangkat berkali-kali pada BUMN yang lain. 3) Sebagai implikasi dari ketidakjelasan kualifikasi kompetensi dan batasan frekuensi masa jabatan Direksi BUMN di atas maka jenjang karir karyawan di suatu BUMN menjadi terhambat (menutup kesempatan untuk regenerasi), sebagai contoh yang terjadi pada Direktur Utama sektor perbankan pindah menjadi Direktur Utama sektor energi dan Direktur Operasional pada perusahaan BUMN sebelumnya berpindah menjadi Direktur Keuangan pada BUMN lain. 4) Belum jelasnya mekanisme reward and punishment kepada direksi dalam rangka menjalankan good corporate governance. Pengangkatan Komisaris; Pengangkatan komisaris harus lebih diperjelas mengenai kompetensinya, karena banyak komisaris yang tidak memiliki kompetensi.  Seharusnya Anggota Komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen, memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha Persero tersebut, serta dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.

11. Penyertaan Modal Negara. Tidak tegasnya pengaturan mengenai penyertaan modal negara menyebabkan penafsiran bahwa yang dimaksud dengan modal negara harus berupa uang. Menurut ketentuan UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, kekayaan negara meliputi uang dan barang yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu penyertaan modal negara pada BUMN yang berupa barang juga harus melalui persetujuan DPR, seperti pembelian pesawat oleh pemerintah. Belum adanya pengaturan mengenai kriteria BUMN yang dapat memperoleh PMN. Akibatnya BUMN yang tidak berkinerja dan terus merugi tetap dimungkinkan untuk memperoleh PMN.

12. Anak Perusahaan BUMN dan Holding BUMN. Kriteria mengenai pendirian anak perusahaan oleh BUMN belum jelas, sehingga terdapat BUMN yang membentuk anak perusahaan tidak sesuai dengan tujuan pendirian, bahkan berakibat kerugian pada BUMN. Pembentukan anak perusahaan BUMN tidak sesuai dengan core bussiness induk perusahaan. Banyak BUMN yang merugi juga mendirikan anak perusahaan yang berakibat menambah potensi kerugian perusahaan induknya. Pendirian holding BUMN cenderung berpotensi menghilangkan aset BUMN, oleh karena itu perlu regulasi yang jelas mengenai pembentukan holding. Karena penafsiran status anak perusahaan BUMN tidak lagi merupakan BUMN maka terdapat modus penggelapan aset melalui pendirian anak perusahaan dan manajemen BUMN induk fokus pada pengembangan usaha anak perusahaan sehingga anak perusahaan memperoleh keuntungan lebih banyak daripada induk perusahaan (mengurangi setoran deviden BUMN ke kas negara). Selain itu praktek penjualan/pemindahtanganan/kerja sama operasi yang melibatkan aset dengan pihak swasta dilakukan melalui anak perusahaan dan tidak melalui persetujuan DPR sebagaimana diatur dalam UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Selama ini pendirian anak perusahaan dan holding BUMN tidak melalui proses persetujuan DPR. Belum jelasnya pengaturan mengenai pengelolaan aset-aset cabang-cabang BUMN dan anak perusahaan BUMN yang ada di daerah.

13. Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR). Banyaknya BUMN yang belum optimal melaksanakan program kemitraan dan bina lingkungan karena masih mengacu pada Pasal 74 UU Perseroan Terbatas yang mengatur mengenai Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Sementara itu menurut ketentuan dalam UU BUMN (Pasal 88), menyebutkan BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Apakah pelaksanaan program kemitraan dan bina lingkungan serta CSR dapat dilakukan oleh BUMN rugi?

14. Kewenangan RUPS yang berportensi menimbulkan masalah, yaitu terkait daya ikat Surat Menteri dan hak substitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakili Menteri dalam RUPS karena selain organ BUMN pihak lain manapun dilarang campur tangan dalam pengurusan BUMN sebagaimana diatur dalam pasal 91 UU BUMN.

15. Belum diterapkannya Ketentuan Pasal 21 UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang terhadap peran BUMN dalam mendukung perekonomian nasional, termasuk pengaturan kewajiban BUMN untuk menggunakan mata uang rupiah dalam setiap transaksi, terutama transaksi antar BUMN dan transaksi dalam negeri.

16. Belum tegasnya rumusan fungsi pengawasan DPR terhadap pemindahtanganan/pelepasan/dan KSO aset BUMN sebagaimana diatur dalam Pasa 45 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 46 Ayat (1) UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

17. Keterkaitan UU BUMN dengan UU Lain sehingga membutuhkan harmonisasi, yaitu: UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,; UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor; UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK; UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik; UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; UU/Prp No. 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara; UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme; UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan; UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan; UU No. 39 Tahun 2008  tentang  Kementerian Negara; UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

Komisi VI Dukung Pengurangan Jumlah BUMN

Jakarta (ANTARA News) - Komisi VI DPR RI menyambut baik rencana Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno yang ingin mengurangi jumlah perusahaan dari 119 menjadi 85 BUMN.

"Komisi VI DPR mengapresiasi keinginan Menteri BUMN yang ingin mengurangi jumlah BUMN. Setuju penggurangan jumlah BUMN dari 119 jadi 85 BUMN," kata Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Heri Gunawan di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin.

Menurut dia, langkah Menteri BUMN itu sudah tepat karena untuk mensinergikan sejumlah BUMN yang memiliki bidang usaha yang sama.

"Inti setuju satu sektor, yang sejenis dimerger dengan syarat SDM yang ada turut bergabung tidak boleh hilang. Intinya terjadi sinergi antar-BUMN. jangan sampai ramping di atas, gemuk di bawah. Maksudnya, tidak ada anak perusahaan dari hasil pengurangan tersebut," ujarnya.

Selain itu, menurut dia, kebijakan tersebut strategis sepanjang pengurangan jumlah BUMN adalah untuk kepentingan negara.

"Kalau untuk agen pembangunan, bersinergi, tidak hilangkan aset negara, kita setuju. Termasuk, jangan sampai aset negara pindah ke anak perusahaan BUMN," kata Heri.

Untuk melaksanakan pengurangan jumlah BUMN, dikemukakannya, perlu direvisi atau bahkan mengubah Undang Undang (UU) Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN.

"Ada 17 item yang akan diubah bila pengurangan jumlah BUMN dilakukan. DPR harus memperbaiki UU BUMN," demikian Heri Gunawan.

APBN 2016 Belum Berpihak Pada Ekonomi Rakyat

Jakarta (dpr.go.id) - RAPBN 2016 masih menjadikan penerimaan dari sektor pajak sebagai tulang punggung. Hal itu bisa dibaca dari jumlah penerimaan pajak yang mencapai Rp1.505 triliun dari total pendapatan sebesar Rp1.823 triliun. Artinya, lebih dari 80 persen pendapatan negara di APBN 2016 berasal dari pajak. Angka itu naik 1,1 persen jika dibandingkan dengan APBN-P 2015.  
 
Namun sangat disayangkan, penerimaan pajak itu akan digunakan membiayai belanja yang mayoritas untuk pelayanan umum pemerintah pusat, seperti pembayaran bunga utang, dukungan manajemen teknis kementerian/lembaga, dll.
 
"Lalu, apa signifikansi peningkatan penerimaan pajak kalau mayoritasnya hanya untuk membiayai pengeluaran rutin dan teknis, serta pembayaran bunga utang?" kata Wakil Ketua Komisi VI Heri Gunawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta (29/10/15). 


Ia menambahkan bisa dikatakan peningkatan pajak tidak punya arti sama sekali pada pembangunan ekonomi rakyat secara langsung. Uang itu hanya terkuras pada pengeluaran rutin dan bersifat administratif, dan hanya tersisa sedikit untuk pembangunan langsung. 

Sebagus apapun argumentasi pemerintah Jokowi-Kalla, peningkatan pajak akan sulit bermanfaat jika dimasukkan dalam APBN yang bocor untuk hal-hal yang mubazir. Tambahan triliunan rupiah untuk APBN 2016 akan terkuras untuk membayar utang yang tidak kurang dari Rp300 triliun (cicilan pokok + bunga).    

"Pada akhirnya APBN 2016 hanya akan memasung ekonomi rakyat. Rakyat kehilangan haknya atas anggaran publik sehingga akses terhadap program-program produktif seperti kesehatan, pendidikan, pangan dan infrastruktur sosial lainnya," tutur wakil rakyat dari dapil Jabar IV ini.

Pemerintah Jokowi-Kalla menurutnya juga belum menunjukkan keberpihakan kepada penumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Industri Kecil Menengah (IKM) secara optimal. Ini terlihat dari komposisi anggaran di kementerian/lembaga terkait yang masih saja didominasi oleh pengeluaran manajemen rutin dibanding program-program produktif.  
 
Sehingga cukup beralasan bila dikatakan pemerintah makin melenceng jauh dari cita-cita kesejahteraan rakyat sebagaimana janji-janjinya tempo hari. Hingga hari ini, rakyat belum merasakan dampak program ekonomi secara langsung. Malahan, selama setahun terakhir, terjadi justru sebaliknya. 

"Tingkat PHK makin tinggi. Pada bulan September 2015 saja, berdasarkan data Apindo, jumlah PHK mencapai 27.000 orang karena perusahaannya gulung tikar. Berikutnya, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terus meningkat sebesar 30 ribu orang," demikian Heri. (iky)

Defisit APBN 2016 Meningkat, Rakyat Terbebani

Jakarta (dpr.go.id) - APBN 2016 bisa dibilang sudah di tahap mencekik leher rakyat. Mengapa? Selain memikul beban kredit utang, yang per 31 Agustus 2015 sudah mencapai lebih dari Rp3.000 triliun, kini, rakyat harus dibebani lagi dengan utang baru untuk menutup defisit APBN 2016 sebesar Rp330,9 triliun.

"Pertanyaannya defisit yang menjadi utang itu siapa yang tanggung? Tidak lain, tidak bukan, beban itu akan jatuh ke pundak rakyat. Dan dengan entengnya, Pemerintah Jokowi-Kalla menggeser beban itu ke rakyat yang sedang kesulitan oleh ekonomi nasional yang rapuh," kata Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (29/10/15).

Pemerintah Jokowi-Kalla mestinya lebih bijak untuk tidak memaksa rakyat membayar utang yang penggunaannya belum tentu untuk kesejahteraan mereka. Apalagi dalam postur APBN 2016 ini, sebagian besar anggaran belanja digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin pemerintah. 

"Lalu, kemana keberpihakan pemerintah Jokowi-Kalla yang gencar dengan slogan, kesejahteraan rakyat, kalau kebijakannya ujung-ujungnya mencekik rakyat," tandas wakil rakyat dari dapil Jabar IV ini. 

Baginya utang yang menumpuk itu akan terus menjadi 'bom waktu'. Tidak saja karena menggerus cadangan devisa dan hasil ekspor, tapi juga karena utang ini memiliki tingkat suku bunga komersil dan berbentuk denominasi valuta asing yang akan jadi beban yang berlipat-lipat. Apalagi sebagian di antaranya dalam bentuk utang jangka panjang dengan tenor puluhan tahun.

Data terakhir yang berhasil dihimpun dalam APBN 2016 anggaran pendapatan mencapai Rp1.822,5 triliun yang berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp1.546,7 triliun dan bukan pajak sebesar Rp273,8 triliun. 

Sementara anggaran belanja mencapai Rp2.095,6 triliun atau naik 6,9 persen dari APBN-P tahun 2015. Belanja itu terdiri atas: belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.325,6 triliun + anggaran transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp770,2 triliun.   

Dengan postur seperti itu, maka APBN 2016 mengalami defisit sebesar Rp273,2 triliun atau sebesar 2,15 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit itu naik sebesar Rp50,7 triliun dibandingkan APBN-P tahun 2015.  

"Alih-alih menurunkan atau menutup defisit, pemerintah Jokowi-Kalla malah tidak mampu menghadirkan postur APBN yang sehat. Yang dihadirkan justru APBN yang membuat rakyat makin sengsara," demikian Heri. (iky) foto: iwan armanias/parle/hr

Gabung TPP, Pemerintah Dinilai Salah Jalan

Jakarta (dpr.go.id) - Keputusan Presiden Joko Widodo untuk bergabung dengan kerja sama ekonomi Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership) dinilai sebagai kebijakan yang salah jalan. Langkah itu jelas bertentangan dengan semangat ekonomi kerakyatan yang selama ini diusungnya.

"Bergabung dalam TPP sama halnya dengan melayani kepentingan korporasi besar dan orang-orang kaya. Jokowi sepertinya telah lupa dengan jalan kerakyatan yang selama ini dikobarkan," kata Wakil Ketua Komisi VI Heri Gunawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (29/10/15).

Lebih lanjut menurutnya niat Jokowi untuk bergabung dalam TPP dapat mengancam kepentingan nasional. Bagaimana tidak? Untuk diketahui, TPP—sebelumnya bernama Trans-Pacific Strategic Economic Partnership (TPSE)—adalah skema liberalisasi perdagangan barang dan jasa yang komprehensif, terjadwal, dan mengikat. Bahkan, TPP disebut-sebut lebih progresif karena mencakup isu-isu WTO-Plus.

Dengan bergabung ke TPP lanjut politisi FP Gerindra ini, Indonesia akan diikat dengan kewajiban mereduksi tarifnya hingga mencapai 0 persen pada semua pos tarif di semua sektor, termasuk sektor sensitif seperti kesehatan, asuransi, dan jasa keuangan. Indonesia juga wajib menerapkan kebijakan pengurangan biaya transaksi perdagangan, kebijakan kompetisi, government procurement, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan kebijakan investasi.

TPP juga dipandang luas sebagai alat politik dan ekonomi AS. Bahkan, dalam draft rahasia TPP yang pernah bocor ke publik tahun 2013, disebutkan bahwa TPP tidak lain merupakan kontrol korporasi atas berbagai sektor kehidupan manusia.

 
"Tidak berlebihan kalau banyak pihak menyebut bahwa dukungan Jokowi untuk bergabung dalam TPP adalah kemenangan politik dan ekonomi Obama dan AS. TPP akan menjadi jalan masuk ke akses pasar yang lebih luas seperti Indonesia yang menjanjikan keuntungan yang besar di tengah terpuruknya ekonomi AS dan Eropa," tutur dia. 

Pada bagian lain wakil rakyat dari dapil Jabar IV ini menyebut TPP tidak senafas dengan prinsip “sentralisasi ASEAN” yang selama ini menjadi pijakan politik luar negeri Indonesia untuk menjadikan ASEAN sebagai sebagai basis kelembagaan dari semua bentuk kerjasama regional.

Keputusan ini juga berarti membuka pintu secara lebar-lebar bagi masuknya gempuran asing di tengah melemahnya daya saing ekonomi nasional secara umum dan banyaknya kelemahan-kelemahan dalam ekonomi domestik yang harus lebih dahulu dibenahi.

"Hal yang tidak kalah penting mengecilnya kesempatan bagi pengusaha nasional, pengusaha di daerah, pemerintah daerah dan masyarakat secara umum untuk terlibat dalam pembangunan nasional," tegas Heri.

Sebagai pemimpin bangsa yang besar, sudah semestinya Presiden Jokowi berperan sebagai pelopor usaha dan kerja sama regional, dan bukan sebagai pengikut. Indonesia harus memelopori usaha yang mengarahkan negara-negara anggota ASEAN dan Asia Timur untuk lebih fokus pada upaya-upaya kerjasama ekonomi dalam kerangka ASEAN, dengan berpijak pada prinsip “sentralitas ASEAN” yang secara eksplisit tercantum dalam Piagam ASEAN dan menjadi bagian dari politik luar negeri Indonesia. (spy/iky) foto: andri/parle/ky

Fasilitasi Bintek dan Bantuan Peralatan IKM Sukabumi

Heri Gunawan Fasilitasi Akses Bantuan Pelatihan dan Peralatan Untuk 11 IKM Sukabumi dari Kementerian Perindustrian RI

Hari ini, selasa (27/10) dilaksanakan acara pembukaan Bimbingan Teknis Industri Kecil Menengah (IKM) Kabupaten SUkabumi yang diselenggarakan oleh Direktur IKM Wilayah II Kementerian Perindustrian RI, bertempat di Hotel Pangrango Selabintana.

Kegiatan Bintek IKM ini akan berlangsung selama 5 (lima) hari sampai dengan tanggal 31 Oktober 2015 yang diikuti oleh 220 orang anggota dari 11 Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang ada di Kabupaten Sukabumi. Selain mendapatkan pelatihan bintek, kesebelas IKM ini juga akan menerima bantuan berupa peralatan mesin produksi sesuai dengan jenis usahanya.

Kegiatan pelatihan kesempatan pertama untuk Sebelas IKM ini merupakan hasil usulan Heri Gunawan, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI yang juga anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Jabar IV Kota dan Kabupaten Sukabumi.

Diharapkan ke-11 IKM ini bisa menjadi motor penggerak/trigger lahirnya Industri Kecil Menengah (IKM) di Sukabumi yang berdaya saing dengan mengadaptasi inovasi yang dilandaskan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semoga pelatihan IKM dari Kementerian Perindustrian ini dapat dilakukan secara berlanjut dan berkesinambungan di Sukabumi pada periode berikutnya, guna Sukabumi Yang Lebih Baik.




Penurunan Bunga KUR Belum Naikkan Daya Saing UKM

Jakarta (dpr.go.id) - Penurunan bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari sekitar 22 persen menjadi 12 persen belum cukup menaikkan daya saing UKM. Yang paling penting sebetulnya keleluasaan akses mendapatkan KUR itu sendiri yang banyak dikeluhkan para pelaku UKM.

Penegasan tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan, Jumat (16/10). Heri mengungkapkan, selama ini justru pelaku UKM kesulitan mengakses KUR, karena belum bankable. Pasalnya, pelaku UKM sulit memenuhi persyaratan dan kriteria yang ditetapkan perbankan. Akibatnya penyaluran KUR belum optimal dan masih di bawah 5 persen.

“Itu masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Dari tahun ke tahun masalah ini belum terpecahkan. Bank-bank yang selama ini diberi subsidi KUR masih mensyaratkan kriteria yang menyulitkan. Karena itu, selain harus menambah bank penyalur KUR, pemerintah mesti memikirkan paket untuk mempermudah akses KUR. Dengan begitu, KUR akan lebih terasa dampaknya. Penambahan itu juga bisa mempercepat penyaluran KUR kepada debitur yang selama ini dianggap belum bankable.”

Dijelaskan Anggota F-Gerindra itu, data dari Komite KUR hingga 2014 ternyata hanya ada tujuh bank nasional yang menyalurkan KUR, yaitu BRI, Bank Mandiri, BNI, BTN, Bukopin, Bank Syariah Mandiri, dan BNI Syariah. Total kucuran dana KUR mencapai Rp152,71 triliun. Heri berharap, penyaluran KUR agar lebih ekspansif dan merata. KUR yang selama ini disalurkan lebih banyak untuk sektor pertanian dan perdagangan. Sebarannya pun masih terkonsentrasi di Jawa.

“Padahal saat ini pemerintah telah memberdayakan Jamkrindo dan Askrindo untuk mendorong perbankan melakukan pemerataan penyaluran kredit ke seluruh wilayah Indonesia sebagai lembaga penjamin KUR,” ujar Heri. Seraya menambahkan, “Perbankan tidak perlu ragu karena ada uang jaminannya. Dalam proposal PMN 2016 kedua BUMN itu telah mendapatkan penyertaan negara masing-masing Rp500 miliar.”

Dana PMN tersebut, lanjut Heri, untuk menambah modal kedua BUMN dalam mendukung penjaminan KUR. Heri mempertanyakan bila hingga kini para pelaku UKM masih kesulitan mengakses KUR, tak ada gunanya Komisi VI menyetujui penyaluran PMN kepada dua lembaga penjamin tersebut. Akses modal sangat dibutuhkan para pelaku UKM. Dan itulah yang menjadi stimulus dalam membangkitkan perekonomian nasional yang saat ini kian terpuruk.

“Saat ini lebih dari 60 persen penduduk bergantung kepada kelompok UKM. Dan kontribusinya terhadap perekonomian nasional di atas 50 persen. Tentunya perihal ini harus direspon pemerintah dan lembaga penjaminan yang ditunjuk secara serius,” tutup politisi dari dapil Jabar IV ini. (mh)/foto:andri/parle/iw.