Berjuang Bersama Gerindra dan Prabowo Subianto

Mengamalkan TRIDHARMA Kader Partai Gerindra : Berasal Dari Rakyat, Berjuang Untuk Rakyat, Berkorban Untuk Rakyat.

Heri Gunawan Seminar Nasional

Tantangan dan Peluang Bisnis bagi Generasi Milenial.

Jalan Santai

Jalan Santai yang diselenggarakan Rumah Aspirasi dan Inspirasi Heri Gunawan

Kunjungan Ketua Umum GERINDRA

Prabowo Subianto Melakukan Kunjungan ke Sukabumi

Bantuan Hand Traktor

Heri Gunawan Memfasilitasi Bantuan 30 Unit Traktor Untuk Gapoktan di Kabupaten Sukabumi Pada Tahun 2015

Komisi XI DPR RI Bersama Gubernur BI

Heri Gunawan, Sebagai Anggota Komisi XI DPR RI Yang Membidangi Keuangan dan Perbankan

Kunjungan Kerja BKSAP DPR RI Ke Australia

Heri Gunawan Sebagai Anggota BKSAP DPR RI saat berkunjung dan berdialog dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Australia

Tampilkan postingan dengan label rilis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rilis. Tampilkan semua postingan

PAHLAWAN COVIDNOMICS


 


Oleh : Heri Gunawan

Ketua Kelompok Fraksi Partai Gerindra Komisi XI DPR-RI

 

Saat ini bangsa Indonesia masih bergelut menghadapi Pandemi Covid-19. Perjuangan makin sulit karena jumlah kasus kian hari makin meningkat. Kasus meninggal dunia pun terus bertambah. Per 21 Januari 2021 jumlah angka kematian tercatat sebesar 27.203 orang. Angka tersebut melonjak 7.118 orang dibanding 1 bulan sebelumnya, 21 Desember 2020, yang baru mencapai 20.085 orang.


Di antara para korban meninggal tersebut terdapat para tenaga medis yang selama ini berjuang sebagai ujung tombak perlawanan terhadap Covid-19. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengonfirmasi per 2 Januari 2021 jumlah tenaga medis yang meninggal karena Covid-19 mencapai 504 orang, terdiri dari dokter 237 orang, dokter gigi 15 orang, perawat 171 orang, bidan 64, apoteker 7 orang dan tenaga laboratorium medik 10 orang.


Sudah nyaris 10 bulan, dari Maret 2020 hingga Januari 2021, bangsa Indonesia bergulat menghadapi Pandemi Covid-19. Ancaman Covid-19 yang semula hanya menyasar bidang kesehatan menjalar ke sektor ekonomi seiring dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Program vaksinasi yang mulai diberlakukan pada 13 Januari 2021 menjadi secercah harapan akan berakhirnya wabah pagebluk tersebut dan sekaligus sebagai harapan pemulihan ekonomi.


Sejatinya sebelum adanya Covid-19, ekonomi Indonesia sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan. Pada kuartal IV-2019, pertumbuhan ekonomi hanya 4,97%, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya 5,02%, maupun periode yang sama tahun lalu 2018 sebesar 5,18%.


Faktor eksternal berupa gejolak ekonomi global dan adanya perang dagang antara Amerika Serikat versus China, dianggap sebagai pemicu menurunnya perekonomian nasional. Jelas sekali saat itu belum ada kepedulian terhadap adanya ancaman Covid-19 meskipun saat itu wabah ini sudah menghajar China dan beberapa sejumlah negara lainnya.

 

Beberapa negara sudah mengambil kebijakan membatasi diri. Namun, Indonesia tetap menggelar karpet merah untuk wisatawan asing. Pemerintah pun mengalokasikan stimulus sebesar Rp298,5 miliar, termasuk di antaranya Rp72 miliar dialokasikan untuk membayar influencer. 


Pemberian stimulus ditujukan agar wisatawan asing tetap tertartik berkunjung ke Indonesia.


Kasus pertama Covid-19 terkonfirmasi pada tanggal 2 Maret 2020. Di tengah perdebatan tentang perlu tidaknya melakukan lockdown, pada 31 Maret 2020 Presiden Joko Widodo menetapkan keadaan darurat kesehatan masyarakat akibat pandemi Covid-19 dan mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mengatasinya, serta menerbitkan Perppu yang melegitimasi rencana kebijakan pemerintah mengatasi krisis keuangan akibat Covid-19.


Ketiga kebijakan itu dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Pertama, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Dan ketiga, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau juga disebut Perppu Corona.


Awalnya, Perppu banyak menuai kritik karena ada beberapa pasal yang berpotensi membuka peluang terjadinya moral hazard. Yaitu Antara lain, pertama, pasal tentang Bank Indonesia yang diperbolehkan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana. Kedua, defisit APBN boleh melebihi 3 persen terhadap PDB. Dan ketiga, pejabat keuangan tidak bisa dituntut di muka hukum.


Namun akhirnya pada 12 Mei 2020, DPR-RI menyetujui Perppu No 1 Tahun 2020 menjadi UU. Dan pada 18 Mei 2020 Perppu tersebut diundangkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020.

Pemerintah kemudian membuat peraturan turunan dari UU No. 2/2020 tersebut. Di antaranya melahirkan PP No 43 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Perpres No 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur APBN 2020.


Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menyasar 5 bidang, yaitu kesehatan, perlindungan sosial, sektoral K/L dan Pemda, UMKM, pembiayaan korporasi dan insentif usaha. Total anggaran PEN mencapai Rp695,2 triliun, yang dialokasikan untuk bidang Kesehatan Rp97,90 triliun, Perlindungan Sosial Rp233,69 triliun, Sektoral K/L dan Pemda Rp65,97 triliun, UMKM Rp115,82 triliun, Pembiyaan Korporasi Rp61,2 triliun, dan Insentif Usaha Rp120,6 triliun.

Adanya alokasi PEN menyebabkan defisit dalam APBN-Perpres 72/2020 membengkak menjadi Rp1.039,2 triliun. Bertambahnya defisit secara otomasi menambah utang Pemerintah. Menurut data Kementerian Keuangan hingga November 2020 akumulasi utang Pemerintah mencapai Rp5.910,64 triliun dengan rasio terhadap PDB mencapai 38,13 persen.


Sebagaimana diketahui bahwa tahun 2021 nanti pemerintah butuh uang menambal defisit lebih dari Rp1.000 triliun, sama dengan tahun 2020. Defisit sebesar ini akan berlangsung hingga tahun 2023 atau selama empat tahun sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang No 2 Tahun 2020.


Uang ini akan digunakan untuk menolong BUMN, bank dan swasta. Karena BUMN bank dan non bank, serta swasta hanya akan selamat jika ditolong oleh pemerintah. Kalau tidak BUMN di khawatirkan akan amblas. Demikian juga dengam pihak swasta.


Sementara uang hanya akan ada jika pemerintah menimbun utang. Karena utang makin sulit, dan tidak ada lagi lembaga keuangan multilateral yang mau menolong Indonesia maka dipilihlah skema pembentukan Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia yang menarik investasi jumbo diharapkan dapat menolong.


Selain menyetujui Perppu Corona menjadi UU, DPR-RI juga secara marathon membahas RUU Cipta Kerja. Akhirnya pada 5 Oktober 2020, DPR-RI menyetujui RUU Cipta Kerja menjadi UU.


Diharapkan nantinya UU Cipta Kerja ini mampu menarik investor yang menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi, diantaranya melalui Lembaga Pengelola Investasi atau sovereign wealth fund (SWF).

 

Lembaga kepanjangan tangan pemerintah dalam pembangunan ini ditetapkan memiliki modal US$75 triliun atau US$5 miliar. Saat pembentukan awal negara menempatkan modal pertama sebesar Rp15 triliun atau sekitar US$1 miliar. 


SWF Indonesia akan mengelola dana investasi dari luar negeri dan dalam negeri. Lembaga ini bertugas sebagai sumber pembiayaan alternatif, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap dana jangka pendek.


Lembaga ini diharapkan pemerintah untuk membantu meraih investasi dan menyalurkannya dengan skema alternatif melalui investasi langsung, sekaligus mendorong perbaikan iklim investasi, guna mendorong pendanaan pada proyek infrastruktur.


Sedangkan aktivitas investasi yang dilakukan meliputi penempatan dana dalam instrumen keuangan, pengelolaan aset, kerja sama dengan pihak lain termasuk entitas dana perwalian (trust fund), memberikan dan menerima pinjaman hingga menatausahakan aset menganggur milik negara.


Aset negara dan BUMN yang dialihkan ke Lembaga Pengelola Investasi bisa dikerjasamakan dengan pihak ketiga untuk meningkatkan nilai aset. Setelah menjadi aset LPI, aset tersebut juga bisa menjadi jaminan untuk penarikan pinjaman.


Sekadar informasi, nilai barang milik negara pada 2019 setelah dilakukan revaluasi mencapai Rp10.467 triliun. Adapun aset BUMN pada 2018 mencapai Rp8.092 triliun. Dengan asumsi rerata sales to price ratio dari Bursa Efek Indonesia (BEI) pada masa normal sebesar 3 kali—4 kali, didapatkan market value sekitar US$480 miliar. Dengan kata lain, valuasi SWF Indonesia bisa mencapai Rp7.074 triliun (Kurs Rp14.738).


Dengan kata lain, skema SWF untuk cari uang ini pada dasarnya sama dengan jualan aset. Aset-aset yang bernilai rendah akan dijual untuk tetap menjalankan kegemaran pemerintah pada infrastruktur.


Adapun skema ini akan dilakukan diantaranya, dengan cara berikut yaitu  pertama, divestasi penjualan 14% saham PT Citra Karya Javar selaku pemilik konsesi dan operator tol Cisumdawu senilai Rp50,25 miliar. Kedua, pelepasan 25% kepemilikan saham PT Prima Multi Terminal.

Ketiga, penawaran dengan investor untuk melepas kepemilikan sahamnya di tol Pandaan-Malang dan tol Medan-Kualanamu. Keempat, menjual 35% sahamnya di PT Jasamarga Pandaan Malang; 15% sahamnya di PT Jasamarga Kualanamu Tol.


Kelima, menjual PT Waskita Toll Raod (WTR) dengan melepas kepemilikannya di sembilan ruas tol. Sembilan ruas tol yang akan dijual terdiri dari 3 ruas tol di Jabodetabek, 1 ruas tol di Jawa Barat, 2 ruas tol di Sumatera, 2 ruas tol Trans-Jawa, dan 1 ruas tol di Jawa Timur. Seluruh ruas tol tersebut terbentang lebih dari 480 km.


Pertanyaannya, bagaimana memastikan keberhasilan skema dana aset yang dibangun jika tanpa rencana yang matang, cenderung merugi, tidak memenuhi unsur kelayakan proyek? Padahal merawat aset-aset semacam ini butuh biaya besar agar tidak dimakan “rayap”. Siapa yang akan membeli?


Selain strategi alokasi aset dan model serta tata kelolanya, transparansi dari pengelolaannya juga patut menjadi salah satu tolok ukur SWF Indonesia, jika tidak tentunya situasi ini akan mengerikan. Pemerintah dan BUMN bangkrut bersamaan. 


Hal yang paling membahayakan adalah hajat hidup orang banyak jadi bancakan elite ologaki melalui korupsi di BUMN.


Meskipun DPR sudah memberikan semua yang diminta Pemerintah, sehingga DPR dikecam publik menjadi tukang stempel (rubber stamp) Pemerintah, namun kinerja Pemerintah belum sesuai dengan harapan. Indonesia dinyatakan masuk kedalam jurang resesi pada kuartal III-2020, setelah dua kali berturut-turut pertumbuhan ekonomi mencetak minus, yakni pada kuartal II-2020 minus 5,32% (yoy) dan kuartal III 2020 minus 3,49%. Angka PHK, pengangguran, dan kemiskinan melonjak naik.


Tidak hanya itu, anggaran PEN yang disediakan dengan susah payah, pada awal-awalnya juga minim penyerapannya. Akhirnya hingga tutup tahun 2020 tidak semua anggaran PEN bisa terserap. Hingga 31 Desember 2020, realisasi anggaran PEN hanya mencapai Rp579,78 triliun atau 83,4 % dari alokasi pagu Rp695,2 triliun. Dengan demikian ada sisa lebih perhitungan anggaran (SILPA) yang sebesar Rp115,42 triliun.


Padahal perlu diketahui bahwa anggaran tersebut berasal dari utang yang berbunga, seharusnya segera dipergunakan untuk menanggulangi dampak Covid-19.

Bisa disimpulkan, ekonomi Indonesia yang suram selama 2020 sejatinya bukan karena dampak Covid-19 semata. Tetapi ada mis-management dan lemahnya fundamental ekonomi. 


Mis-management tercermin dari tidak terserapnya seluruh dana PEN 2020. Sementara lemahnya fundamental ekonomi tercermin dari menurunnya rasio pajak dan tingkat kredit pinjaman.


Menurut data, rasio pajak pada 2018 mencapai 11,5 persen, kemudian pada 2019 turun menjadi 10,7 persen, dan pada 2020 ini diproyeksikan hanya 7,90 persen. Sementara pertumbuhan kredit pada 2018 mencapai 11,8 persen (yoy), kemudian pada 2019 turun menjadi 6,08 persen (yoy), dan pada 2020 diproyeksikan hanya tumbuh 3 hingga 4 persen.


Suramnya pertumbuhan ekonomi patut disesalkan. Selain mendapatkan dukungan penuh dari DPR, sejatinya Pemerintah juga didukung dan mendukung sinerginya Komite Stabilitas Sistem Keuangan alias KSSK (Kemenkeu, BI, OJK dan LPS).


BI sudah melakukan Quantitative Easing (QE) senilai Rp694,87 triliun, menurunkan suku bunga BI7DRR hingga 3,75%, dan membeli SBN untuk pendanaan dan pembagian beban (burden sharing) APBN 2020 Rp473,42 triliun.


OJK juga melaporkan restrukturisasi di industri keuangan sudah mencapai Rp1.170 triliun, terdiri dari restrukturisasi di perbankan Rp951,2 triliun dan restrukturisasi di perusahaan pembiayaan mencapai Rp188,3 triliun


Sejak LPS beroperasi, lembaga tersebut telah melikuidasi 102 bank, salah satunya bank umum. Dengan kemampuan aset keuangan Rp 127 triliun, LPS diperkirakan mampu menyelesaikan permasalahan 1 bank besar, 1 bank menengah, dan 5 bank perkreditan rakyat dalam kondisi normal. Namun, dalam kondisi krisis, basis penyelesaian bank bermasalah tersebut dapat diperluas, dengan bantuan dana dari pemerintah dan atau penerbitan surat utang atas nama LPS. Idealnya LPS bisa memupuk cadangan penjaminan hingga 2,5 persen dari PDB.


Dari semua angka-angka yang disajikan hanya utang yang mengalami kenaikan siginifkan. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh utang dengan bunga/imbal hasil yang tinggi. Pemerintah gali lubang untuk tutup lubang, berutang untuk membayar utang. Inilah mata rantai yang harus diputus.


Pada tahun 2019 realisasi biaya bunga mencapai Rp275,5 triliun. Pada 2020 meningkat menjadi Rp314,1 triliun. Dan pada 2021 dialokasikan Rp373,26 triliun.


Ke depan, imbal hasil/bunga Surat Utang Negara (SUN) harus diturunkan. Saat ini imbal hasil SUN Indonesia masih sangat tinggi. Sebagai gambaran per 10 Januari 2020, surat utang denominasi rupiah tenor 10 tahun, Indonesia menawarkan imbal hasil sebesar 6,93 persen, sementara Filipina hanya 4,68 persen, Malaysia 3,28 persen, Vietnam 3,11 persen dan China 3,08 persen.


Memasuki 2021, Indonesia memasang target pertumbuhan ekonomi yang sangat optimis yaitu 5 persen (yoy). Target tersebut juga didukung oleh berbagai lembaga keuangan dunia yang memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 akan berkisar di angka 5 persen.

Namun sayang, di tengah optimisme tersebut, kasus Covid-19 kian meningkat. 


Pemerintah pun kembali menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kebijakan Masyarakat (PPKM) di Pulau Jawa dan Bali. Periode pertama dilakukan dari 11 Januari 2021 hingga 25 Januari 2021. Dari hasil evaluasi akhirnya diputuskan diperpanjang dari 26 Januari 2021 hingga 8 Februari 2021. 


Bila kasus Covid-19 terus meningkat maka ada kemungkinan PPKM akan kembali diperpanjang. Adanya PSBB dan PPKM tentunya bisa menjadi kendala memenuhi target pertumbuhan ekonomi di 2021.


Dari paparan di atas sampailah pada pertanyaan, siapa yang layak menyandang gelar Pahlawan Covidnomics? Jawabannya adalah seluruh rakyat Indonesia. Karena rakyatlah yang akan menanggung beban utang yang timbul akibat berbagai kebijakan penanganan Covid-19.







OJK Segera Cabut Surat Edaran Tentang Buyback Saham Tanpa Persetujuan RUPS



oleh : Heri Gunawan
Anggota Komisi XI DPR RI / Fraksi Gerindra / Jabar IV

OJK dapat dianggap gegabah dengan mengeluarkan Surat Edaran OJK Nomor 3/SEOJK.04/2020 tanggal 9 Maret 2020 tentang Kondisi Lain Sebagai Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan Dalam Pelaksanaan Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik.

Kontroversi Surat Edaran tersebut adalah OJK mengizinkan semua emiten atau perusahaan publik melakukan pembelian kembali (buyback) saham tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Menurut OJK, surat edaran tersebut sebagai upaya untuk menanggulangi kondisi perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia yang sejak awal tahun 2020 sampai dengan 9 Maret 2020 terus mengalami tekanan signifikan yang diindikasikan dari penurunan IHSG sebesar 18,46% (year to date).

Penurunan IHSG secara signifikan disebabkan oleh pelambatan dan tekanan perekonomian, baik global, regional maupun nasional sebagai akibat dari wabah COVID-19 dan melemahnya harga minyak dunia.

Menyikapi hal tersebut, kami berpandangan :

1. Sejatinya, surat edaran yang dikeluarkan oleh OJK adalah bentuk kepanikan karena membolehkan buyback saham tanpa persetujuan RUPS. Kepanikan ini dalam jangka panjang dapat menimbulkan kepanikan lebih besar lagi di pasar saham. Sebaiknya, dalam menghadapi kondisi IHSG yang mengalami penurunan signifikan tetap dilakukan solusi-solusi sesuai ketentuan yang berlaku. Pelanggaran terhadap satu ketentuan akan diikuti dengan pelanggaran lainnya. Meminjam istilah di lalu lintas bahwa kecelakaan terjadi berawal dari pelanggaran. Ingat, kasus Bank Century hingga Jiwasraya bisa terjadi juga karena adanya pembiaran pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku.

2. Sebaiknya OJK segera mencabut Surat Edaran tersebut. OJK tetap mengawasi pergerakan IHSG secara seksama dan teliti. Terkait dengan penurunan IHSG, agar dicarikan solusi yang sesuai ketentuan yang berlaku, yakni buyback saham dilakukan dengan persetujuan RUPS. Ketentuan ini menjaga agar tidak ada penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak tertentu sehingga di kemudian hari bisa menyebabkan persoalan hukum dan kegaduhan baru.

3. OJK diharapkan mengindahkan arahan Presiden Joko Widodo untuk tidak panik. Kebijakan yang dikeluarkan oleh OJK sudah seharusnya menunjukkan semangat optimisme, selaku anggota komite stabilitas sistem keuangan.

3. Para emiten/perusahaan publik diharapkan tidak meniru kepanikan yang ditunjukkan oleh OJK. Harus diingat bahwa buyback saham sepanjang mengikuti ketentuan yang berlaku tetap diijinkan. Buyback adalah keputusan yang strategis sehingga harus dibicarakan dengan seluruh pihak terkait.

MELESET DARI TARGET, EKONOMI INDONESIA DIPERTARUHKAN

Oleh: Heri Gunawan
Anggota Komisi XI ; Kapoksi Badan Legislasi DPR-RI


Prediksi ekonomi Indonesia tercatat hanya bertengger di angka 5,3 persen (versi BPS) dan 4,9 persen (versi lembaga luar negeri semisal JP Morgan). Tahun 2019, ekonomi Indonesia diprediksi hanya tumbuh 5,08 persen hingga akhir tahun. Angka ini meleset dari target yang dipatok sebesar 5,3 persen.

Menciutnya angka pertumbuhan ekonomi adalah sinyal adanya perlambatan. Salah satu penyebabnya, menurut Bank Dunia, masih terkait dengan ketidakpastian ekonomi global, termasuk perang dagang AS-China, masalah Brexit yang tak kunjung usai, perang dagang antara Korea Selatan dengan China hingga Isu penggulingan Presiden AS Donald Trump yang digulirkan oleh Kongres AS semakin menambah faktor ketidakpastian dan terus menekan perekonomian global. Selain itu, pertumbuhan investasi cenderung melemah karena turunnya harga komoditas.

Tahun 2020, perekonomian global sedang dibayangi resesi, tak terkecuali Indonesia. Sebab itu, perlu kewaspadaan penuh dampak resesi terhadap perekonomian nasional. Terlebih, Indonesia masih dihadapkan pada lemahnya daya saing, kemiskinan, ketimpangan, sempitnya lapangan kerja, dll. Tanpa pengelolaan yang baik, nasib ekonomi Indonesia dipertaruhkan di 2020.

Berikut beberapa catatan saya terkait ekonomi Indonesia 2020 :

1.       Melesetnya angka pertumbuhan ekonomi 2019-III sebesar 5,02 persen menjadi sinyal bagi pemerintah untuk berhati-hati mengelola strategi ekonomi. Lebih-lebih, tahun 2020 nanti, perekonomian nasional menghadapi tantangan resesi global. Strategi ekonomi perlu langkah-langkah mitigasi serius atas resesi.

2.       Salah satu yang harus diperhatikan adalah defisit APBN. Tahun 2019 saja, defisit melebar menjadi lebih dari 2,2 persen akibat perlambatan ekonomi. Angka yang melenceng cukup jauh dari target sekitar 1,8 persen. Tanpa pengelolaan yang baik, bukan mustahil defisit melebar mendekati 3 persen yang menjadi batas maksimal yang disyaratkan dalam UU No. 17/2013 tentang Keuangan Negara, mengingat laporan realisasi anggaran (LRA) masih menggunakan cashbase. Sementara Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Komponen-komponen yang terdapat dalam satu set laporan keuangan berbasis akrual. Pemerintah perlu secara terbuka menegaskan sebetulnya berapa angka defisit APBN Ini penting untuk melahirkan kepercayaan dan kredibilitas.

3.       Nyaris seluruh negara maju memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi masing-masing. Perlambatan ekonomi global terus berlanjut. Tahun 2019-II China hanya mencatatkan pertumbuhan 6,2 persen (pertumbuhan terendah dalam 30 tahun terakhir). Belum lagi gejojak perang dagang AS-China terus mendistorsi permintaan ekspor (terutama ekspor komoditas). Sinyalemen resesi ini diprediksi akan cukup berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020.

4.       Ekonomi nasional yang masih bergantung pada konsumsi rumah tangga menjadi momok tersendiri. Sementara itu, investasi dan perdagangan internasional belum berperan optimal. Padahal, keduanya berperan signifikan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Tahun 2019, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) Indonesia hanya sebesar 5 persen. Angka ini turun dari realisasi pertumbuhan tahun lalu 6,7 persen. Penyebabnya adalah iklim investasi yang belum kondusif. Investor tidak tertarik karena rumitnya regulasi. Realisasi investasi yang ada juga semakin minim pada penyerapan tenaga kerja.

5.       Sementara itu, perdagangan internasional belum menggembirakan. Usaha perbaikannya terhambat. BPS mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada November 2019 defisit sebesar Rp1,86 triliun—defisit terbesar kedua sepanjang Januari-November 2019. Penyebabnya adalah ekspor yang turun cukup tajam nyaris di semua sektor, kecuali pertanian yang tumbuh 4,42 persen secara tahunan: ekspor migas turun 15,81 persen; industri pengolahan turun 1,66 persen; pertambangan dan lainnya turun 19,09 persen. Ekspor yang melemah tak hanya dipengaruhi penurunan harga komoditas, tapi juga akibat harga ekspor barang-barang nonmigas Indonesia yang relatif rendah. Selain itu, produk domestik kalah bersaing karena kurangnya pengadopsian teknologi baru yang berdampak pada harga yang relatif lebih tinggi.

6.       Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi pada kuartal pertama 2019  tumbuh 5,3% menjadi Rp195,1 triliun. Capaian ini menjadi realisasi investasi terendah Indonesia dalam kurun 2014-2019. Salah satunya Indonesia tak mendapatkan sumbangsih manfaat yang signifikan atas migrasinya perusahaan asing dari negara China imbas perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Sebanyak lebih dari 50 perusahaan multinasional telah mengumumkan rencana atau mempertimbangkan pemindahan manufaktur keluar dari China. Pertanyaan besarnya adalah kenapa Indonesia tidak menjadi pilihan yang menarik untuk investasi di banding dengan negara asia yang lain, sebut saja Vietnam dan Taiwan. Salah satu penyebabnya antara lain kepastian hukum dan pertanahan di Indonesia, dianggap masih kurang baik serta banyaknya regulasi terkait perijinan yang tumpah tindih dan tentu saja bermuara pada lamanya ijin investasi serta biaya tinggi yang sulit diprediksi.

7.       Di sisi lain, ketergantungan impor sangat tinggi, terutama untuk bahan baku dan penolong untuk industri. Beberapa sektor unggulan terdampak oleh kebijakan yang tidak berpihak pada produsen dalam negeri dan rendahnya daya saing ekspor di tengah ketidakpastian. Salah satu sektor unggulan yang menjadi sorotan karena kegagalan bersaing akibat ketidakberpihakan kebijakan pemerintah dan tekanan faktor eksternal adalah Industri Tekstil dan Produk dari Tekstil (TPT).

8.       Catatan eksternal-internal sebagaimana di atas sudah semestinya diantisipasi secara penuh dan hati-hati dalam merancang strategi optimal agar ekonomi bisa bertahan di tengah ancaman resesi 2020. Untuk diketahui, Indonesia belum lepas dari jeratan kemiskinan, ketimpangan, lapangan kerja, defisit neraca berjalan yang cukup lebar plus-minus 2,5 persen dari PDB, struktur ekonomi yang masih bergantung pada konsumsi dan komoditas, likuiditas neraca keuangan yang masih ketat, dll. Bila tidak diantisipasi dengan baik, maka dampak resesi—mudah-mudahan tak terjadi—akan terasa lebih berat. Namun, Indonesia tak boleh pesimis. Kita sudah terbukti lolos dari jeratan resesi. Sebab itu, pemerintah mesti selalu terbuka atas masukan dari semua pihak. Lewat kolaborasi, saya yakin kita bisa lolos. Hal-hal berikut dapat dijadikan sebagai resep mitigasi atas perekonomian nasional 2020 nanti:

1)    Diperlukan koordinasi strategi dan eksekusi kolaborasi, baik kementerian pusat dan pemerintah daerah untuk memastikan agar mitigasi risiko berjalan sesuai perencanaan.

2)    Paket kebijakan ekonomi harus diprioritaskan bagi pelaku ekonomi riil, terutama sektor informal yang telah terbukti selalu lolos dan bertahan dari jeratan resesi.

3)    Dengan angka defisit APBN yang terukur, jika ruang defisit masih longgar dapat dimanfaatkan untuk melebarkan desisit anggaran dimana pelebaran ini bersifat sementara dan ditujukan untuk menggairahkan daya beli masyarakat agar akselerasi ekonomi dapat tercapai. Ketika kondisi ekonomi sudah membaik maka pelebaran defisit tersebut dapat ditutup kembali.
4)    Indikasi perlemahan konsumsi tentunya akan menjadi masalah bagi pertumbuhan ekonomi. Menjaga daya beli masyarakat jelas sekali urgensinya dan tidak bisa ditawar. Kebijakan fiskal yang ekspansif dan terukur bisa menjadi solusi dalam upaya menjaga daya beli.

5)    Dari sisi penerimaan keuangan, pemerintah (cq. Kementerian Keuangan) perlu terus memperluas basis pajak sebagai tulang punggung penerimaan APBN. Melihat penerimaan pajak Per Januari-Oktober 2019 yang baru 65,7% dari target menjadi tanda belum membaiknya kinerja sektor pajak. Pemerintah harus serius memburu wajib pajak kelas kakap. Jangan cuma mengejar wajib pajak yang selama ini patuh.

6)    Tindaklanjuti data-data wajib pajak kelas kakap yang tidak ikut tax amnesty yang diklaim sudah dipegang pemerintah. Jika itu tidak dilakukan, maka kuatirnya membuat meradang deposan dan mengganggu likuiditas yang selama ini sudah sangat ketat. Ke depan ini perlu perhatian serius dan konsisten. Jangan bikin kebijakan tanpa kajian yang holistik.

7)    Kebijakan moneter yang akomodatif dan konsisten dengan prakiraan inflasi yang terkendali dalam kisaran sasaran 3%-an, Ditengah penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia dikisaran 5% yang keempat kalinya BI menurunkan suku bunga secara bertutut-turut, pengelolaan surat berharga negara untuk berhutang lebih dari defisit berbunga tinggi harus lebih prudent, termasuk perhitungan risiko kepemilikan surat utang oleh negara asing.

8)    Ketersediaan, stabilitas harga, dan pasokan bahan pokok, terutama sembilan bahan pokok, harus dipastikan tidak terdistorsi untuk mencegah inflasi yang akan berpengaruh pada daya beli masyarakat.

9)    Terkait ekspor, pemerintah perlu mencari tujuan pasar ekspor baru yang dapat memasarkan produk-produk Indonesia. Sementara itu, impor harus dikelola dengan optimal untuk melindungi produk dalam negeri dan stabilitas harga.

10)                       Memastikan pertanian tetap berkontribusi penting bagi perekonomian nasional untuk menjaga ketersediaan pangan dengan menjaga Nilai Tukar Petani, produktifitas, serta kesejahteraan petani.

11)                       Menciptakan iklim investasi yang kondusif agar peluang masuknya investasi langsung tetap terbuka, serta memprioritaskan investasi yang bisa menyerap tenaga kerja. Omnibus law harus menjadi momentum kondolidasi besar-besaran agar saling mendukung satu sama lain dalam cipta lapangan kerja dan peningkatan investasi. Setidaknya ada 82 Undang-undang (UU) dan 1.194 pasal,  mencakup 11 klaster antara lain penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan; kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM; dan kemudahan berusaha.

12)                       Enam pilar dalam rencana Omnibus Law Perpajakan, diantaranya pendanaan investasi, sistem teritori, subjek pajak orang pribadi, kepatuhan wajib pajak, keadilan iklim berusaha dan fasilitas guna memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem dan daya saing Indonesia. Dengan begitu, regulasi yang ribet, rumit, dan sering manghambat investasi dapat dipecahkan.